Kelabunya Hujan di Penghujung Tahun

Cerita ini terinspirasi dari lagu Langit Abu-Abu - Tulus

Hujan di penghujung tahun memang memberikan kesan tersendiri bagi sebagian orang. Ada yang memberikan kehangatan, kebahagiaan, harapan, pun ada juga yang kehilangan. Semua itu wajar karena memang di dunia ini tak ada yang namanya "selamanya". Pasti akan ada di mana keadaan membuat diri terbang melayang, tapi jangan lupa juga tentang bagaimana cara kita turun. Bisa saja dengan cara yang lembut atau dengan cara yang menyakitkan.

Hujan bagiku hanyalah sebuah gambaran kecauan hati yang tak ingin berdamai dengan sang masalah. Tak ingin berdamai dengan sang ego. Tak ingin berdamai dengan masa lalu. Semua hanyalah sebuah kekacauan yang sebenarnya dibuat oleh diri sendiri dan berakhir menyerang diri sendiri.

Rintik air yang berjatuhan masih terdengar. Walaupun tak terlalu keras, tapi tetap saja membawa bayangan kenangan yang telah tersimpan rapi di ruang hati yang terdalam. Tak ada niatan untuk membukanya, tapi sepertinya kenangan itu memberontak ingin keluar dari sana. Menorehkan luka tak kasat mata yang menghujami hati. Merasakan sesak yang selama ini berusaha diabaikan dan dilupakan. Berujung dengan menggiring lelehan air mata yang tak bisa dibendung untuk keluar.

Hujan nyatanya tak hanya terjadi di luar. Di sini, hujan yang jauh menyakitkan sedang berlangsung. Turun dengan deras seiring berputarnya bayangan masa lalu yang tak henti-henti. Berusaha menampik, tapi justru memperjelas bayangan samar. Memerparah rasa sesak di dada. Memang, tampak seperti seorang yang lemah. Namun, apa salahnya seorang laki-laki menangis? Seorang laki-laki juga punya hati. Tak melulu harus menampilkan ketegarannya. Laki-laki juga punya rasa sakit. Mungkin jika ada yang melihatku, mereka akan menertawakanku karena melihat seorang laki-laki yang menangis dan dalam keadaan yang kacau, menyedihkan. Tapi apa peduliku? Mereka tak merasakan apa yang kurasakan.

Masih sedikit sesenggukan karena menangis, secara samar terdengar langkah kecil yang mendekat. Sandal rumah yang bergesekan dengan lantai kayu menghasilkan suara gesekan yang familiar di telinga. Mencoba menetralkan napas dan membentuk sebuah senyum hangat. Menyambut si gadis kecil yang melompat ke pelukan.

Suasana menghangat dengan celotehan si gadis kecil yang menceritakan aktivitasnya di pagi sampai sore hari. Mengundang sebuah bunga yang mekar di dalam dada. Bahagia melingkupi diri hanya dengan melihat matanya berbinar saat bercerita dan tingkahnya yang menggemaskan.

"Pa, Papa tadi menangis, ya?"

Sebuah pertanyaan sederhana, tapi membuat mulut bungkam seribu bahasa. Hanya menjawab dengan gelengan dan senyuman.

"Papa kalau hujan kok nangis sih? Aku perhatiin dari lama lho. Kenapa sih, Pa? Papa takut hujan, ya?"

Pertanyaan yang mengundang kekehan karena gemas dengan ekspresi penasaran si gadis kecil yang sedang kupangku.

"Iya. Papa takut hujan. Memangnya Sarah nggak takut?"

Jawaban yang mengundang ekspresi kaget dengan tangan yang menutup mulut. Kemudian, tawa kecil terdengar. Mungkin berniat mengejek seorang laki-laki dewasa yang takut hujan.

"Ih, Papa kok kalah sama Sarah? Sarah aja nggak takut hujan. Sarah bahkan pernah hujan-hujan sama tante Puji. Kita lari-lari keliling halaman rumah nenek!"

Gadis kecil itu, putriku. Seorang yang sangat ceria. Menceritakan kesukaannya terhadap hujan yang sangat aku hindari. Nada ceria selalu terdengar saat menceritakan pengalaman bermain di bawah hujan dengan seseorang yang disebutnya tante Puji, adikku. Sesekali aku merespon dengan menunjukkan ekspresi kagum dengan apa yang dia lakukan. Sesekali juga mencubit hidung kecilnya dengan gemas. Dia adalah hartaku yang berharga.

Setelah puas menceritakan pengalaman hujan-hujannya, dia menguap kecil. Matanya sayu tanda mengantuk. Tak heran, sekarang sudah pukul sebelas malam dan ini adalah rekor tidur malam terlarutnya.

Merentangkan tangan tanda ingin digendong. Tentu saja aku menyambutnya dengan senang hati. Berjalan berlahan sambil menyanyikan lagu pengantar tidur. Belum sampai di kamar, kurasakan beban memberat. Gadis kecilku sudah terlelap. Membaringkan ke ranjangnya dengan perlahan lalu menyelimutinya. Tak lupa kecupan tidur kuberikan sebelum beranjak dari sana.

Mematikan lampu lalu pergi ke kamar tidur. Membaringkan tubuh dengan terlentang menantap langit-langit kamar. Bayangan yang baru saja hilang karena si kecil sekarang kembali lagi. Mungkin efek hujan yang dari empat jam yang lalu belum reda. Walaupun sedari tadi hanya hujan ringan yang jatuh. Namun, tetap saja dapat melemparkan bayangan masa lalu untuk kembali terbayang.

Lelehan air mata terasa di wajah. Pandangan memburam akibatnya. Beralih meringkuk seperti seorang anak kecil yang ketakutan. Menangis sambil menahan suara agar tak membangunkan si gadis kecil. Tak sanggup! Enam tahun sudah berlalu, tapi selalu berakhir sama di penghujung tahun. Meringkuk dan menangis.

Rasa sakitnya tak berkurang meskipun seringkali teralihkan oleh aktivitas sehari-hari. Namun, tetap saja. Tak dapat hilang. Bisakah sang waktu menyembuhkan luka ini? Aku harap bisa.

Sebenarnya diri sendiri yang bodoh. Mau saja diperdaya oleh seorang wanita yang sialnya kucintai dengan teramat sangat. Wanita itu dirimu, Kina. Buta? Mungkin itu kata yang pantas untukku pada waktu itu. Ah, tidak. Kata bodoh pantas untukku dari dulu sampai sekarang karena masih mengharapkanmu kembali.

"Aku masih mengharapkanmu, Kina."

Bahkan sekarang kuingat bagaimana caramu tertawa, bercerita, matamu yang berbinar. Semuanya kuingat. Kusadar bahwa kau sangat mirip dengan Sarah. Kalian sama-sama orang yang ceria. Namun, ada satu hal yang membuatku sakit seperti ini. Kau pergi dariku. Kau meninggalkanku berdua dengan Sarah. Sebenarnya apa yang ada di pikiranmu itu? Tidak bahagia kah kau bersamaku?

Jika ada hal yang sangat kuinginkan, itu adalah bertemu denganmu. Menanyakan alasan kenapa kau pergi. Selama ini aku butuh jawaban, tapi kau bungkam. Aku butuh alasan yang masuk akal, tapi kau diam. Aku benar-benar tak mengerti.

Pernah kucoba merelakan kepergianmu. Tak mempedulikan kau pergi. Melupakan semua hal tentangmu. Namun, kau menghancurkan semua usahaku hanya dengan sebuah pesan singkat. Pesan yang memberiku secercah harapan bahwa kau masih peduli dan akan kembali.

[Bagaimana harimu? Putriku, dia baik-baik saja, 'kan? Jangan telat makan dan istirahat yang cukup. Selamat malam.]

Ku mencoba membalas pesanmu, tapi tak kau gubris. Ku mencoba menghubungimu, tapi tak kau angkat. Namun, aku percaya kau masih peduli dengan kami.

Ah, itu sudah tiga tahun yang lalu. Sekarang kau tak pernah mengirimiku pesan apa pun. Sudah bahagiakah kau di luar sana dengan orang lain?

Terkadang aku berpikir pertemuan kita sungguh lucu. Kau dengan keadaan kacau sehabis menangis karena putus dengan kekasihmu dan aku yang kacau karena kabur dari rumah. Memang, dulu aku adalah orang yang kekanakan. Setiap ada masalah di rumah, aku kabur dan akan berdiam diri di hutan kota.

Dari pertemuan itu kita berkenalan. Bercerita masalah masing-masing. Menghibur satu sama lain. Aku merasa nyaman. Lalu pertemuan-pertemuan berikutnya terjadi begitu saja. Kita menjadi dekat dan aku ingin selalu bersamamu, melindungimu, menjadi alasan kau tersenyum.

Aku tak main-main. Segera kuutarakan maksudku untuk mempersuntingmu dan kau menerimanya. Tak ada yang bisa menggambarkan bahagianya aku saat itu. Semenjak itu kau lebih terbuka padaku. Menceritakan bagaimana keseharianmu, masalahmu, bahkan kau selalu berkata aku lebih baik daripada kekasihmu yang dulu.

Saat kita menikah, hidupku terasa bahagia dan lengkap. Di tambah lagi dengan kau yang mengandung putri kecil kita. Aku bahagia. Namun, kau pergi setelah memberikanku hadiah. Kau pergi setelah si kecil lahir ke dunia. Sebenarnya apa yang mengganggumu?

Terlalu lama mengenang masa lalu membuatku tak sadar jika hari hampir pagi. Sebuah janji harus ditepati hari ini. Berusaha mengistirahatkan diri sejenak sebelum melunasi janji yang seminggu lalu terucap. Mengajak si gadis kecil ke taman hiburan sebagai hadiah ulang tahunnya yang keenam.

Terasa pipi ditepuk pelan oleh telapak tangan yang kecil. Mengganggu tidur yang tak seberapa nyeyak. Membuka mata dan disuguhi wajah manis si gadis kecil. Sudah rapi dengan baju favoritnya. Ah, dia sudah tidak sabar menghabiskan hari ini di taman hiburan.

"Pa, ayo bangun! Sarah sudah mandi dan wangi!"

"Iya, Sarah. Ini papa bangun. Tunggu di meja makan, ya?"

"Siap!"

Berlari kecil sambil menyanyikan lagu anak-anak yang dihapalnya. Ah, gadis kecilku sangat menggemaskan.

Beberapa waktu mempersiapkan segala kebutuhan rekreasi, tangan saling berkaitan sambil sesekali bercanda. Menghabiskan akhir pekan menjadi sangat menyenangkan.

Sesampainya di sana, mata itu kembali berbinar. Meloncat karena senang setelah sekian lama bisa kembali ke tempat ini. Mencoba beberapa wahana yang menyenangkan dan istirahat di tempat makan. Mengisi energi sebelum menjelajah taman bermain lagi.

Tak sengaja pandangan menangkap sosok yang selama ini menghilang. Makan di seberang meja bersama seorang laki-laki dewasa dan seorang balita. Dia tersenyum dan tertawa. Setelah diperhatikan, perutnya sedikit buncit. Ah, dia sedang mengandung kah?

Terlalu lama memperhatikan sosok itu sampai tak sadar air mata menetes. Si gadis kecil panik setengah berteriak. Menyebabkan pengunjung di sekitar meja menoleh ke arah kami berdua. Tak terkecuali sosok itu. Pandangan kami bertemu. Dia terlihat terkejut.

"Papa! Papa kenapa menangis?"

Tangannya menghapus air mata di pipi dengan cepat. Menampilkan binar mata yang redup tanda khawatir. Gadis kecilku ikut berkaca-kaca melihatku menangis. Ah, gadis kecilku sangat perasa.

"Tidak. Di luar sedang mendung. Papa takut hujan."

Alasan yang setengah dibuat-buat, setengahnya lagi tidak. Memang langit saat ini sedang mendung. Mungkin setelah inu hujan akan turun. Hujan, ya? Aku ingin menghindari hujan.

Gadis kecilku lantas menengok ke luar. Melihat dari kaca dan membelalakkan mata. Dia terkejut?

"Ah! Iya, Pa! Lihat, sekarang sudah gerimis!"

Menghela napas lega karena percaya pada alasan yang dibuat-buat. Dia menatap khawatir padaku lagi. Kedua tangan kecilnya menggenggam tangan kananku yang ada di atas meja. Dia menampilkan ekspresi seperti mengasihani seekor kucing.

"Papa tenang aja. Di sini ada Sarah. Jadi, Papa nggak usah takut lagi. Hujannya nggak akan masuk ke dalam kok."

Tersenyum menanggapi kata-kata penenang dari gadis kecilku. Lalu ku memberanikan diri menggandeng tangannya dan berjalan ke meja seberang. Tempat seorang yang selama ini kucari dan kuinginkan kembali.

"Permisi."

"Iya, ada apa ya?"

Laki-laki dewasa itu yang menjawab. Sambil sesekali mengelap sisa makanan di mulut si balita.

"Saya Dani, temannya Kina. Boleh pinjam Kinanya sebentar. Ada yang ingin saya tanyakan."

Laki-laki itu memandang seorang yang kusebut. Kina. Bertanya apakah benar aku temannya dan tak disangka dia mengangguk. Kupikir dia akan langsung menolak jika aku ajak bicara. Ternyata tidak.

Kami duduk di meja yang tadi kutempati sedangkan Sarah kutitipkan bersama laki-laki tadi.

Memulai dari pertanyaan paling mendasar seperti alasan kenapa meninggalkanku dan Sarah. Lalu berlanjut seputar kehidupan pribadi setelah berpisah. Perkembangan Sarah. Juga kondisi kehidupan saat ini. Setelah dirasa cukup jelas dan masuk akal, kuakhiri perbincangan dan kembali ke mejanya tadi untuk menjemput gadis kecilku.

"Sarah, ayo pulang."

"Iya, Pa. Om Ridwan, Tama, Sarah duluan, ya?"

Pamit gadis kecilku pada laki-laki itu dan balita di sampingnya. Dia melambaikan tangan tanda perpisahan. Seakan tak ada beban dalam lambaiannya, dia melakukannya dengan senyum mengembang. Sedangkan aku berusaha mati-matian tak mengeluarkan air mata.

"Oh, Sarah lupa. Tante namanya siapa? Sarah belum kenal."

Tanyanya yang begitu ringan. Ku menahan napas sesaat. Tak tahu apa yang akan diucapkan perempuan itu kepada gadis kecilku. Semoga saja tak ada tangis yang terjadi di sini.

"Kina Asifa. Panggil saja Kina."

"Oke. Sampai jumpa tante Kina!"

Gadis kecilku menggenggam tanganku erat. Saat kulihat, dia masih ceria. Apakah ada hal yang mengganggunya?

Gerimis sudah berhenti, tapi tetap menyisakan mendung di langit. Hujan akan datang sebentar lagi. Berlari kecil sambil tertawa. Mengalihkan pikiran dari apa yang baru saja terjadi. Melupakan bahwa seorang yang selama ini dicari sudah ada di depan mata.

Jiwa dan raga terasa lelah. Setelah membersihkan diri dan makan malam, kami bersantai di ruang keluarga. Menonton kartun dengan si gadis kecil di pangkuanku. Menyandar di dadaku sambil sesekali tertawa karena kartun yang ditontonnya.

"Pa, Sarah punya mama nggak?"

Pertanyaan sederhana dan mendasar, tapi berhasil membuat seorang laki-laki dewasa kehilangan kata-kata untuk menjawabnya. Sebenarnya pertanyaan ini sudah tak asing di telinga. Setiap hari ulang tahun gadis kecilku, pertanyaan ini mengalun di udara. Tapi tetap saja pengaruhnya sama, rasa sesak dan tak rela.

Tersenyum seperti yang sudah-sudah. Mengeluas lembut surai hitam yang panjangnya sebahu. Menatap lekat pada matanya, berujar lirih.

"Punya. Mama Sarah cantik."

Selalu jawaban seperti itu. Selalu berakhir seperti itu. Tak ada niatan untuk mengajukan pertanyaan lain. Mungkin sudah terlampau hapal apa yang akan kukatakan selanjutnya jika pertanyaan kembali terujar. Diam, mengangguk, lalu tersenyum manis. Menerima jawaban yang tak seberapa jelas dan penuh tanda tanya.

"Pa, Sarah ngantuk. Mau tidur."

Pelukan mengerat lalu mengantar ke kamar. Bersenandung lirih sebagai lagu pengantar tidur. Kebiasaan sederhana yang menjadi candu. Membuat si gadis kecilku nyaman dan cepat terlelap.

Membaringkan perlahan dan menyelimutinya. Memandang sedikit lebih lama wajah manisnya yang mirip dengan perempuan yang telah melahirkannya. Menyibak poni rata yang sedikit menutupi mata. Mencium dahinya dengan penuh perasaan. Air mata jatuh sesaat setelah menegakkan badan. Ah, memang aku laki-laki lemah.

Malam yang sama di mana semua berawal dan berakhir. Pada malam yang sama, di mana penghujung tahun yang dingin juga basah. Hujan tak henti-hentinya turun. Ah, penghujung tahun memang kelabu.

Kita bertemu di hutan kota saat gerimis. Aku melamarmu tepat saat hujan turun di bulan Desember. Putri kecil kita lahir saat malam sedang gerimis. Kau melayangkan gugatan perceraian saat hujan sedang deras-derasnya. Dan sekarang, aku menemukanmu di saat gerimis. Semua terjadi di penghujung tahun.

Bagiku penghujung tahun memang kelabu. Tak ada warna, hanya abu-abu. Semua kenangan bahagia juga menyakitkan menjadi satu. Menyeruak di dada, menjadikannya sesak juga meloloskan air mata.

Hujan memang mengerikan. Tak salah jika aku berkata bahwa kutakut hujan. Normal, bukan?

Sekarang semua terulang. Kembali meringkuk dan menangis menahan suara isakan di atas ranjang. Di temani suara hujan yang semakin malam semakin deras. Menyesali dan mengumpati semua hal yang terjadi di masa lalu. Hanya sebagai penghibur diri dari tersiksanya bayangan yang kembali terputar.

Ternyata ego memang membuat segalanya berantakan. Antara aku dan kau. Kita sama-sama larut dalam ego. Tak menyadari apa yang menanti di belakang sana. Berakhir dengan penyesalan dan rasa sakit yang tak dapat terobati. Seberapa keras berusaha, rasa sakit itu akan tetap terasa.





Selesai

~•°°°•~ ~•°°°•~ ~•°°°•~ ~•°°°•~ ~•°°°•~
Langit Abu-Abu - Tulus

Tak mungkin secepat itu kau lupa
Air mata sedihmu kala itu
Mengungkapkan semua kekurangannya
Semua dariku yang tak dia punya

Daya pikat yang memang engkau punya
Sungguh-sungguh ingin aku lindungi
Dan setelah luka-lukamu reda
Kau lupa aku juga punya rasa

Lalu kau pergi kembali dengannya
Aku pernah menyentuhmu
Apa kau malu

Di bawah basah langit abu-abu
Kau di mana?
Di lengangnya malam menuju Minggu
Kau di mana?

Kadang dering masih ada namamu
Beberapa pesan singkat untukku
Entah apa maksudmu
Yang kutahu sayangimu aku telah keliru

Ayo tulis di buku harianmu
Kelak jelaskan bila engkau punya waktu

Di bawah basah langit abu-abu
Kau di mana?
Di lengangnya malam menuju Minggu
Kau di mana?

Bertemukah kau dengan sang puas
Benar senangkah rasa hatimu
Bertemukah kau dengan sang puas
Benar senangkah rasa hatimu

Di bawah basah langit abu-abu
Kau di mana?
Di lengangnya malam menuju Minggu
Kau di mana?

Di bawah basah langit abu-abu
Kau di mana?
Di lengangnya malam menuju Minggu
Kau di mana?

Kau di mana?





>_<

Maaf kalau alurnya terlalu cepat. Judul tidak sesuai dengan isi. Membosankan. Bahasanya aneh. Kaku. Tidak enak dibaca. Kurang ada rasanya. Tidak masuk akal. Sulit dipahami. Konfliknya tidak jelas. Tidak sesuai dengan lagunya. Kesalahan dalam penulisan. Dan lain sebagainya.

o(〃^▽^〃)o
Terima kasih sudah membaca.
Tetap semangat, ya!

Salam manis,

Diriku (เน‘・ฯ‰-)~♥”

Komentar

  1. Jujur baca ini pas lagu di playlist muter Epiphany dari Jin BTS, gak tau kenapa mewek kejer. Ada yang pecah tapi itu bukan kaca. Keren ceritanya. Terus berkarya ya. ^^ Fighting!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huaa ... Kak Mucha! Makasih lho udah mau mampir ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer