Aku Tidak Gila

Suasana pagi hari di salah satu kamar rawat itu sedikit ramai. Banyak petugas yang kewalahan menenangkan seorang wanita yang dari pagi buta sudah berteriak dan melempar beberapa barang di kamar itu. Sang wanita terlihat menyedihkan dengan kantung mata yang hitam juga jangan lupakan tak ada cahaya di wajahnya. Hanya ada raut wajah suram, sendu, juga tak punya semangat.

Salah satu perawat mencoba menenangkan sang wanita yang berteriak dengan mendekapnya erat-erat juga membisikkan kata-kata penenang. Sekuat tenaga, perawat itu menahan segala pemberontakan sang wanita agar tak melukai dirinya sendiri juga beberapa pasien lain yang sudah berkerumun di depan kamar rawat sang wanita.

"Ssttt ... tenanglah, Mura. Tidak ada yang mangataimu gila. Tenanglah. Kau bisa melukaiku jika seperti ini," bisik sang perawat di telinga Mura dengan lembut. Dia juga mengusap lembut punggung Mura untuk menciptakan rasa nyaman.

"Jangan! Aku tidak ingin melukaimu!" ucap Mura dengan sedikit berteriak sambil menggelengkan kepalanya ribut. Dapat dilihat bahwa matanya memerah karena menangis. Keadannya benar-benar kacau.

Sang perawat mengurai pelukannya dan memegang kedua bahu Mura sambil menatapnya dengan lembut. Tak lupa dengan senyuman yang biasa membuat Mura tenang.

"Maka dari itu, tenanglah, Mura. Kau harus tenang."

"Ta—tapi mereka mengataiku gila, Vira!" ucap Mura dengan menggebu. Tampaknya Mura masih belum sepenuhnya tenang. Terlihat dari matanya yang bergerak kesana kemari dengan gelisah.

"Mura, itu semua hanya mimpi. Lihat mataku, Mura. Kau percaya padaku, 'kan?"

Mura menatap tepat ke mata Vira. Dilihatnya tak ada kebohongan di sana. Tatapan mata itu selalu bisa memberikan keyakinan kepada Mura. Dengan sadar, Mura menggukkan kepala pertanda dia percaya dengan apa yang dikatakan Vira.

"Bagus. Sekarang istirahat dulu, ya? Satu jam lagi waktunya sarapan. Nanti ingin kubawakan ke sini atau sarapan di ruang berkumpul?" ucap Vira sambil mengarahkan Mura untuk berbaring di tempat tidurnya.

"Sarapan di tempat berkumpul saja," jawab Mura lirih sesaat setelah berbaring di atas kasurnya.

"Baiklah, istirahat dulu, ya ...."

Sstelah mengatakan itu, Vira berbalik dan melangkah pergi dari kamar rawat itu. Akan tetapi, saat kakinya ingin melangkah untuk kedua kalinya, Mura menghentikannya dengan meraih tangan kiri Vira.

"Ada apa?" tanya Vira setelah berbalik menghadap ke Mura yang sedang berbaring.

"Mereka tidak akan kembali, 'kan?" tanya Mura sedikit takut.

"Tenang saja, mereka tidak akan kembali," ucap Vira lalu tersenyum. Setelah dirasa Mura melepaskan tangannya, Vira mengucapkan selamat istirahat lalu keluar dari kamar rawat Mura.

Di depan pintu, para pasien dan perawat berkerubung. Mereka penasaran apakah Mura sudah terkendali atau bagaimana. Vira yang melihatnya pun menggelengkan kepala sambil tersenyum—heran dengan kelakuan warga rumah sakit ini.

"Vira! Si Mura Marah itu udah tenang?" tanya salah seorang pasien laki-laki bernama Gilang dengan raut wajah terlampau penasaran.

Mura terkekeh sesaat lalu menjawab, "Mura sudah tenang. Kalian sebaiknya bubar. Satu jam lagi sarapan. Kalian mau sarapan di ruangan berkumpul, 'kan?"

"Iya, Vira!" jawab semua pasien serempak lalu meninggalkan Vira dan para perawat menuju kamar masing-masing.

"Vira, hebat ya kamu. Semua pasien nurut kalau sama kamu. Apalagi si Mura. Dia nggak mau kalau nggak sama kamu," ucap salah seorang perawat saat mereka semua berjalan ke ruang khusus perawat.

"Enggak juga. Yang paling penting kita tahu gimana kondisinya dan berusaha mengerti apa yang dirasakan pasien. Kalau untuk Mura, karena dia adalah temanku. Aku kenal dengannya, keluarganya, juga masalahnya."

Memang tak banyak yang tahu bahwa Mura dan Vira adalah sepasang sahabat. Bahkan, Vira tahu apa yang membuat Mura bisa sampai ada di sini dan itu membuatnya kesal bukan main. Namun, dia tak bisa apa-apa untuk membantu Mura dan dia menyesal untuk itu.



Mura perlahan tersadar dari tidurnya. Matanya mengerjap pelan lalu terbuka menampilkan manik hitamnya. Setelah mulau sadar sepenuhnya, dia duduk sambil memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. Memang setiap pagi, kepalanya akan terasa sakit entah karena apa.

Mura dengan perlahan berjalan ke lemari dan mengambil baju lalu pergi mengantri ke kamar mandi karena sekarang sudah hampir masuk waktu sarapan. Dia membuka pintu dan disuguhkan pemandangan lorong yang sepi. Para pasien yang lain saat ini sudah berkumpul di ruang berkumpul, menunggu sarapan.

Kemudian, Mura berjalan ke kamar mandi dengan langlah yang tenang. Pagi ini setelah tidur sebentar, moodnya membaik. Belum ada penurunan mood yang bisa membuat Mura tanpa alasan marah-marah.

Di sisi lain, Vira tengah menunggu Mura. Saat dia akan menyusulnya ke kamar, Mura tiba dengan wajah datar seperti biasanya. Sebenarnya, saat kondisi Mura baik-baik saja, dalam hal ini penyakitnya tidak kambuh, Mura adalah orang yang cuek juga dingin. Butuh waktu yang lama untuk Vira mendekati Mura walaupun mereka berteman.

Vira mendekati Mura dan menggandeng tangannya untuk duduk di salah satu sofa yang kosong di samping Wirman, pasien bipolar tetangga kamar Mura.

"Hai, Mura! Kusut banget itu muka. Senyum dong!" ucap Wirman saat Mura sudah duduk di sampingnya sambil menunjukkan cengiran. Saat ini Wirman sedang dalam fase bahagianya. Jadi, jangan heran jika dia berani bicara dengan Mura. Biasanya saja dia sudah takut duluan jika di dekat Mura.

Mura yang mendengar ucapan Wirman hanya menganggapnya angin lalu. Dia duduk dengan tenang sambil menunggu Vira mengambilkan sarapannya. Memang, jika dilihat, Mura seperti mendapatkan perlakuan istimewa di rumah sakit ini. Di mana pasien lainnya diajarkan untuk melakukannya sendiri, Mura malah seperti tidak boleh melakukan apa-apa. Meskipun begitu, tidak ada yang protes dengan keistimewaan yang diberikan kepada Mura, baik itu dari petugas atau pun dari pasien yang lain. Mereka menganggap jika Mura memang harus mendapatkan perlakuan seperti itu.

Mura melihat Vira berjalan ke arahnya sambil membawa sarapan. Setelah sampai, Vira memberikan sarapan itu kepada Mura dan langsung dimakan dengan tenang oleh Mura. Saat Mura sedang memakan sarapannya, Vira menginterupsi dengan memberikan kabar yang sangat dibenci oleh Mura.

"Mura, setelah sarapan kita temui Hyra, ya?" ucap Vira penuh harap.

Mura langsung menghentikan makannya dan memberikan piring yang makanannya masih setengah habis itu kepada Mura dan berkata bahwa dia sudah kenyang. Vira tahu apa yang dirasakan oleh Mura, tapi Mura tidak bisa terus menghindar seperti ini.

Saat tahu bahwa Mura akan meninggalkan ruang berkumpul, Vira langsung menahan tangan Mura sambil menampilkan wajah memelasnya. Dia memohon kepada Mura agar mau bertemu dengan Hyra. Hanya ini yang bisa ia lakukan untuk Mura. Dia ingin temannya kembali seperti semula walaupun harus melewati proses yang menyakitkan.

Melihat sorot mata memelas Vira, Mura menjadi tidak tega. Ia menghela napas pelan lalu menganggukkan kepalanya tanda setuju.
Hal itu mengundang senyum lega Vira. Akhirnya Mura mau menemui Hyra kali ini.

Setelah itu, mereka berjalan menuju ruang kunjung di mana sudah ada Hyra yang menunggu di sana. Mura kemudian duduk berhadapan dengan Hyra sedangkan Vira berada di meja seberang, mengawasi pembicaraan mereka berdua. Kalau-kalau Mura kambuh, dia bisa langsung menenangkannya.

Selama lima menit, tak ada yang bersuara. Mura yang memang memilih diam dan menundukkan kepala sedangkan Hyra yang bingung harus memulai pembicaraan ini dari mana. Pada akhirnya, Hyra memberanikan diri untuk menyapa Mura dengan suara yang pelan.

"Mura ...."

Mendengar namanya disebut, Mura mengangkat kepalanya dan menatap tepat ke mata Hyra. Dapat dilihat bahwa saat ini Hyra dengan sangat gugup. Dia berusaha tidak menatap Mura balik.

"Apa?"

Suara yang datar nampak tak berminat untuk melanjutkan percakapan ini. Sebenarnya, Mura menahan diri untuk tidak memukul wanita di depannya ini.

"Mari pulang. Aku minta maaf telah membuatmu terjebak di sini. Aku benar-benar minta maaf," ucap Hyra sambil menunduk.

Mura tersenyum meremehkan. Pulang? Kata itu memang sempat terlintas di kepalanya, tapi dia sudah muak dengan semua orang rumah. Lebih baik dia pergi ke negeri orang dari pada harus pulang ke rumah itu.

"Dalam mimpimu Hyra. Kalau kamu dateng ke sini cuma mau bilang itu, mending sekarang kamu pulang."

Setelah berucap seperti itu, Mura beranjak dari tempat duduknya dan berniat pergi dari sana. Namun, sebelum Mura melangkahkan kakinya, Hyra menahan tangan Mura. Dia menangis sambil mengeratkan cengkraman tangannya di pergelangan tangan Mura. Dia tidak boleh kehilangan kesempatan ini untuk membuat Mura pulang.

"Tolong, Mura. Ayo pulang!"

"Aku bilang enggak ya enggak! Minggir!" ucap Mura marah sambil menghempaskan tangan Hyra dengan kuat yang mengakibatkan Hyra merintih kesakitan.

Tak hanya itu, Mura juga mendorong Hyra sampai jatuh. Kemudian, dia mulai menjambak rambut panjang Hyra dengan brutal. Ia meluapkan emosinya kepada wanita di depannya ini tanpa menahan apa pun. Yang ada di pikirannya hanya meluapkan emosi yang sedari tadi sudah ada di ubun-ubun.

Hyra hanya dapat menerima perlakuan kasar Mura sambil terisak. Jambakan Mura tak main sakitnya, tapi ia tidak bisa melawan. Tenaganya kalah dengan tenaga Mura yang sedang emosi. Yang ia khawatirkan adalah Mura bertindak lebih jauh dari ini. Tolong, Hyra masih ingin hidup.

Melihat tingkah Mura, Vira langsung beranjak dari sofa dan berusaha menenangkan Mura. Ia mencoba memposisikan dirinya di antara Mura dan Hyra supaya Mura bisa menghentikan tindakannya ini. Akan tetapi, saat ini tenaga Vira kalah kuat dengan Mura. Ia terdorong ke samping sedangkan Mura masih menjambak rambut Hyra.

Tak kehilangan akal, Vira mencoba untuk memeluk Mura dari belakang. Biasanya cara ini berhasil menenangkan Mura saat ia mengamuk. Merasa ada yang memeluknya dari belakang, dengan perlahan Mura melepaskan tangannya dari rambut Hyra. Tak lama kemudian ia terisak. Mura membalikkan badannya guna memeluk Vira. Mura memeluk Vira dengan sangat erat seperti jika dia melonggarkan pelukannya, Vira akan hilang seperti mereka.

"Hiks ... Vira ... Aku nggak mau pulang," isak Mura dalam pelukan Vira.

"Sstt ... ya udah, kita ke kamar aja, ya?" Mura mengangguk sebagai jawabannya.

Sebelum mereka berdua pergi dari ruangan itu, Vira menatap Hyra iba dengan tampilan yang acak-acakan.

"Hyra, mungkin kita bisa coba lain kali?" ucap Vira dengan keraguan yang nyata di dalamnya.

Hyra hanya bisa mengangguk sebagai jawabannya. Memangnya apa lagi yang bisa lakukan? Ia tak ingin mati sia-sia di tempat ini.

Setelah mendapat jawaban dari Hyra, Vira membawa Mura ke kamarnya. Selama perjalanan, Mura sama sekali tidak melepaskan pelukannya dari Vira. Alhasil mereka berjalan sambil berpelukan.

Setelah sampai di kamar, Vira mendudukkan Mura di tepi ranjang lalu mengambilkan minum yang memang tersedia di atas nakas.

"Minumlah, kamu pasti lelah."

"Hehehe ... tau aja."

Setelah itu tak ada yang bicara. Vira yang melamun dan Mura yang menatap geli pada Vira.

"Hey! Ngapain ngelamun?" ucap Mura dengan nada jenaka.

"Itu tadi cuma akting?" tebak Vira. Karena sebenarnya dia merasa janggal dengan reaksi Mura di ruang tunggu tadi.

"Oh, baru nyadar ya?" ucap Mura disertai dengan tawa setelahnya.

"Berarti yang tadi pagi juga akting?"

"Menurutmu?"

"Ish, Mura! Aku itu bukan pembaca ekspresi! Cepet jawab!"

"Hahaha ... iya iya. Kalau yang tadi pagi sih itu beneran," ucap Mura dengan senyum. Entahlah, senyum Mura kali ini penuh misteri.

"Kenapa sih kamu nggak mau baikan sama mereka?" tanya Vira hati-hati. Pasalnya ini adalah hal sensitif bagi Mura.

Mura terdiam sesaat, lalu menjawab, "Mereka ingin aku begini, 'kan? Aku kabulkan permintaan mereka."

"Udahlah, Vira. Jangan bahas ini lagi," tambah Mura sebelum membaringkan tubuhnya ke kasur.

Vira yang melihat Mura tak ingin membahas masalah ini lebih lanjut pun hanya menghelas napasnya pasrah. Yah, dia hanya seorang teman yang tetap tak bisa ikut campur dengan masalah Mura. Biarlah Mura yang menyelesaikannya dengan caranya sendiri. Dia percaya dengan Mura.

"Huh, ya udah. Aku pergi dulu."

Setelah Vira keluar dari kamarnya, Mura Mengubah posisi terlentangnya menjadi menelungkup. Dia membenamkan wajahnya si bantal dan terisak di sana.

Mura, wanita berusia 25 tahun itu tak benar-benar gila. Ia hanya sering mengalami mimpi buruk yang sebenarnya bisa disembuhkan lewat konsultasi dengan psikiater, tidak perlu sampai dirawat di rumah sakit.

Tak ada yang tahu kenapa Mura memilih jalan seperti ini, tapi yang pasti itu yang terbaik menurutnya daripada harus mendekam di neraka itu. Lebih baik ia mendekam di rumah sakit jiwa ini dari pada di rumah yang tak layak disebut rumah.




Selesai


^.^

Maaf ya, konfliknya nggak jelas 😅😆😆

Terima kasih sudah membaca 😊

Komentar

Postingan Populer