Hilangnya Ranly

Embusan angin menerpa tubuhku. Suara air sungai menenangkan hatiku. Segarnya udara menghanyutkan pikiranku pada kenangan yang lalu. Membuat hatiku yang tadinya tenang seketika merasakan perih.

"Hoy! Ngapain sendirian di sini? Kesurupan nanti, hahahaha ...." ucap Ryan sambil tertawa setelah menepuk pundakku cukup keras. Apa dia lupa, pundakku masih sakit karena kemarin jatuh dari sepedanya? Huh, ingin kuberkata kasar sekarang.

"Ih! Sakit tau! Pundakku itu masih sakit. Hush, hush ...." ucapku sambil menyingkirkan tangannya yang masih berada di atas pundakku.

"Hehehe ... maaf, lupa aku," ucap Ryan cengengesan sambil menggaruk tengkuknya. Aku hanya mengembuskan napas kasar mendengar penuturannya.

"Eh, daripada terus-terusan galau mikirin dia, mending nanti malam ikut aku. Dijamin seru deh!" ucap Ryan mengajakku dengan wajah berseri-seri. Sebenarnya aku merasa aneh, tak biasanya dia keluar malam. Bukankah dia tidak boleh keluar malam? Ah, tapi apa salahnya menerima ajakannya. Daripada aku galau terus.

"Iya deh, aku ikut. Kita ketemuan di mana?"

"Kamu tunggu di rumah aja. Aku nanti ke rumah kamu. Kita ke sana jalan kaki. Gimana?"

"Iya deh. Kalau gitu, sampai jumpa nanti malam, ya? Aku pulang dulu. Sudah mau magrib," ucapku seraya bangkit dari duduk lalu menepuk-nepuk bagian belakang rok sekolahku yang kotor terkena tanah.

"Oke deh. Dadah ...."

***

Setelah magrib, aku menunggu Ryan di depan rumah. Sebelum itu, aku mematikan semua lampu rumah kecuali lampu di ruang tamu dan di teras. Hari ini aku sendiri di rumah. Ibuku sedang keluar kota mengurus beberapa pekerjaan yang sempat tertunda karena mengurus diriku yang sakit satu minggu yang lalu.

Aku merapatkan jaketku saat angin berembus. Angin malam ini terasa sangat dingin. Aku jadi ingin bersembunyi di balik selimut tebalku sambil minum teh hangat. Ah, pasti rasanya sangat nikmat.

Sepuluh menit kemudian, Ryan datang dengan jaket hitam dan senter di tangannya.

"Kamu bawa senter buat apa? Kita sebenarnya mau ke mana sih?" tanyaku sambil berdiri lalu menghampiri Ryan.

"Udah, ikut aja. Ayo!" ucap Ryan seraya menggandeng tanganku. Seketika, aku terkejut karena tangan Ryan sangat dingin. "Ryan, tangan kamu kok dingin banget sih? Kedinginan ya? Itu jaketnya kenapa juga nggak dipake?" tanyaku bertubi-tubi yang hanya dibalas dengan senyuman di wajah pucatnya. Eh?! Aku baru sadar kalau wajah Ryan sangat pucat. "Ryan, kamu lagi sakit? Kita pulang aja," ucapku meminta pada Ryan. Aku segera menarik Ryan pulang ke rumah.

"Udahlah, Ranly, aku nggak papa. Kita lanjut aja. Ayolah, jarang-jarang aku bisa keluar malam," ucap Ryan dengan wajah memelasnya. Aku yang tak tega menolak, akhirnya setuju untuk melanjutkan perjalanan.

Sepuluh menit berlalu dan kita sampai di sebuah rumah tua. Aku melihat rumah tua bercat putih gading ini merasa ada sesuatu yang aneh.

"Ryan, kita ngapain ke sini?" tanyaku kepada Ryan yang masih menatap rumah di depan kami dengan kagum. "Kita mau main," ucap Ryan dengan senyum yang menghiasi wajah pucatnya. Aduh, aku semakin yakin kalau Ryan sedang sakit.

"Ryan, wajah kamu pucat banget. Kita pulang aja. Besok aja deh kita ke sini lagi. Lagipula besok hari minggu, 'kan?" bujukku kepada Ryan yang terkenal dengan sifat keras kepalanya. Biarpun aku tahu jawaban apa yang akan keluar dari mulutnya, tak ada salahnya mencoba, bukan?

"Aku nggak papa, Ly. Ayo kita masuk, di dalam udah ada papan permainan kok," ucap Ryan seraya menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah. Aku hanya bisa pasrah ditarik seperti ini.

Saat masuk, tak disangka bahwa rumah ini terlihat sangat terawat. Tak seperti penampilan depannya yang membuat orang takut untuk mendekat.
Lampu-lampu yang terlihat sudah tua masih dapat berfungsi dengan baik. Lukisan-lukisan di dinding juga sangat mempesona. Banyak barang antik yang aku kira bernilai jual tinggi. Ah, rumah ini sangat mengagumkan!

Saat aku dibuat terkagum oleh rumah yang sangat terawat dan nyaman ini, aku tak menyadari bahwa Ryan tak ada di sampingku. "Ryan, kamu di mana?" panggilku setengah berteriak namun tak ada sahutan. Aku ketakutan. Aku ingin segera keluar dari rumah ini, tapi aku juga tidak bisa meninggalkan Ryan. Bagaimana kalau Ryan mencariku nanti?

Air mata sudah membasahi pipiku. Tubuhku sangat lemas karena takut. "Ryan, jangan bercanda! Kamu di mana?" ucapku sekali lagi dengan suara yang bergetar. Tiba-tiba, lampu padam. Ruangan menjadi gelap gulita membuatku semakin ketakutan. Aku terus menyebut nama Tuhan di dalam hati. Berdoa agar aku dilindungi oleh-Nya.

Netraku menangkap cahaya senter beberapa meter di depan. Aku juga mendengar langkah kaki yang mendekat. "Ryan, itu kamu?" tanyaku memberanikan diri. Tak dapat dipungkiri bahwa aku sangat ketakutan saat ini.

Tiba-tiba lampu menyala dan aku sangat terkejut melihat Ryan dengan pisau bernoda darah di tangannya. "Ryan, kamu kenapa bawa pisau?"

"Kita mau main, 'kan?"

"Ryan, itu ...."

***

Hari telah berganti. Sandra, ibu Ranly, baru saja pulang dari luar kota dan sampai di rumah tengah hari. Dia memasuki rumah sambil menenteng oleh-oleh yang dipesan oleh Ranly.

"Ranly, ibu pulang," ucapnya saat memasuki rumah, tapi tak ada pelukan hangat dan suara putrinya yang menyambutnya seperti biasa.

"Ranly?" panggil Sandra sekali lagi, tapi tetap saja tak ada sahutan. Sandra terlihat sangat cemas tidak menemukan Ranly di rumah. Dengan tergesa-gesa, dia menelepon Ranly dan sialnya ponsel Ranly ternyata ada di kamarnya.

Tiba-tiba dia teringat sahabat Ranly sekaligus tetangganya. Sandra dengan segera berlari menuju rumah tetangganya itu.

"Permisi," ucap Sandra seraya mengetuk pintu dengan tergesa-gesa. Tak lama kemudian, pintu dibuka oleh Ryan.

"Iya, Tante. Ada apa?"

"Kamu tahu Ranly di mana?"

"Saya dari kemarin tidak bertemu dengan Ranly, Tante. Saya pagi ini baru sampai di rumah setelah kemarin menjenguk kakek saya."

"Kamu benar-benar tidak tahu di mana Ranly? Tadi pagi kamu lihat Ranly keluar rumah, tidak?"

"Tidak, Tante. Saya tidak melihat Ranly keluar rumah dari tadi pagi."

"Ada apa ini, Bu?" tanya Dinda, ibu Ryan, yang datang menghampiri Sandra dan Ryan.

"Ranly hilang, Bu," ucap Sandra dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Bagaimana bisa? Mungkin dia sedang keluar rumah sebentar. Jangan berpikiran negatif dulu," ucap Dinda berusaha menenangkan Sandra yang sudah terisak.

"Kita tunggu sampai malam saja. Kalau Ranly tidak pulang, kita lapor ke pak RT," ucap Dinda memberi saran. Sandra pun menyetujuinya dan pulang dengan hati yang gundah.

***
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Saat ini, Sandra sedang melapor ke rumah ketua RT tentang Ranly yang menghilang. Semua warga juga diajak berdiskusi guna menentukan tindakan selanjutnya.

"Apakah dari para warga tidak ada yang melihat Ranly?" tanya pak RT kepada warganya.

Salah satu warga mengangkat tangan. "Ya, Bu Warni. Ada apa?" tanya pak RT.

"Saya kemarin malam melihat Ranly berjalan bersama seorang pemuda. Tapi saya tidak tahu wajah pemuda itu seperti apa karena penerangan jalan yang kurang," ucap bu Warni menjelaskan apa yang dia lihat saat dirinya pulang dari warung membeli gula.

"Bu Sandra, apakah Ranly punya teman laki-laki?" tanya pak RT memastikan.

"Ranly hanya punya satu teman laki-laki. Dia Ryan."

"Hmm ... di lingkungan kita juga hanya ada satu pemuda. Ryan, apa kamu semalam mengajak Ranly keluar?" tanya pak RT memastikan dugaannya.

"Tidak, Pak. Kemarin saya menjenguk kakek saya di Malang dan baru kembali pagi ini."

"Iya, Pak. Saya sekeluarga kemarin menjenguk ayah saya di Malang. Jadi, Ryan tidak mungkin mengajak Ranly keluar kemarin malam," ucap Dinda menguatkan perkataan Ryan.

"Kalau begitu, kita serahkan saja urusan ini kepada polisi," ucap pak RT memutuskan dan para warga bubar ke rumah masing-masing.

Di perjalanan pulang, Didit, ayah Ryan, Dinda, dan Ryan berjalan beriringan. Saat angin berembus, Ryan mendengar suara yang memanggilnya. "Ayah manggil Ryan?" tanya Ryan memastikan pendengarannya karena jalanan sangat sepi dan hanya ada mereka bertiga di sepanjang jalan.

"Ayah nggak manggil kamu. Ada apa?"

"Oh, nggak papa, Yah."

"Terima kasih, Ryan." Ryan mendengar suara itu lagi. "Ayah ngomong nggak?" tanya Ryan memastikan lagi.

"Enggak, Ryan. Dari tadi ayah diam saja. Kamu kenapa?" tanya Didit khawatir.

"Oh, nggak papa kok, Yah. Hehehe ...."

Sementara itu, di balik pohon seorang pemuda dengan jaket hitam tersenyum manis sambil berkata, "Terima kasih, Ryan."


Selesai

~
Ini sebenarnya tulisan lama. Sudah pernah aku post di grup facebook. Tapi ini yang belum aku revisi. Jadi, masih banyak kesalahan dalam penulisannya. Mohon maaf ya ....

Sekian, terima kasih

Komentar

  1. Genre horor kah? Iku ranly hilang di bawa hantu bukan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan horor, tapi misteri. Ranly nggak dibawa hantu, kok. Yang menyembunyikan Ranly itu manusia. Masa hantu bisa pegang pisau? 😁

      Hapus
  2. Kok jadi ada psiko di sini. Tapi keren lho kalau dibikin lanjutannya. ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe ... nggak ada ide buat lanjutannya, Kak 😂

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer