Handara Sukma Puwarla


"Kapten, apa yang sedang Anda lakukan?" tanya salah satu anak buah kapal kepercayaan sang kapten sambil membungkuk hormat.

"Aku sedang menulis, Han. Ada apa? Kenapa kau sampai menemuiku di jam seperti ini? Apakah ada sesuatu yang penting?" tanya sang kapten sambil meletakkan pena yang sedari tadi dipegangnya untuk menulis perjalanannya selama berlayar beberapa tahun ini.

"Kapal sudah siap, Kapten. Kami tinggal menunggu perintah Anda," ucap Handara dengan sopan sambil membungkuk tanda hormat kepada kaptennya.

Sang kapten tersenyum lalu dengan perlahan berjalan mendekat ke arah anak buah kepercayaannya itu. Dia memegang kedua bahu Handara dengan kedua tangannya. Sang kapten menatap mata lawan bicaranya dengan lembut sambil berkata, "Jangan terlalu hormat padaku, Han. Kita ini sudah berteman sejak kecil. Kenapa kau selalu saja berlebihan seperti ini?"

Handara yang ditanya seperti itu oleh kaptennya pun tersenyum. "Bukankah itu sudah tugasku sebagai anah buahmu, Kapten Puwarla?"

"Ah, kau ini. Aku adukan pada ibu supaya kau diceramahi dari malam sampai subuh nanti!" ancam Puwarla dengan menampilkan wajah tak sukanya. Sedangkan orang yang diancam menanggapinya dengan tertawa. "Hahaha ... kau itu selalu saja membawa-bawa nama ibu. Padahal kau sudah jadi kapten besar. Huh, dasar anak manja!" ucap Handara mengejek sahabat kecilnya itu.

Ya, mereka, Handara dan Puwarla, adalah sahabat sejak kecil. Lebih tepatnya, Handara diasuh oleh ibu Puwarla semenjak ayahnya tak pernah kembali setelah pergi berlayar dengan kapal kebanggaannya. Sejak saat itu, mereka berdua bagaikan saudara yang tak dapat dipisahkan satu sama lain.

"Hah, ya sudah. Besok kita berangkat," ucap Puwarla memberikan perintahnya.

"Siap laksanakan, Kapten," ucap Handara sambil menunjukkan senyumnya yang bermaksud menggoda Puwarla dengan memanggilnya kapten.

"Handaraaa!"

"Hahahaha ...."



Fajar sudah menunjukkan dirinya. Saat ini, Handara sudah menyiapkan segala keperluan untuk pelayaran beberapa bulan kedepan. Saat dia sedang memeriksa apakah semua keperluan sudah berada di kapal, seseorang menepuk pundaknya. Hal itu sontak mengejutkan Handara sampai-sampai dia mengucapkan semua nama hewan.

"Hahaha ... Handara, kau itu mudah terkejut, ya?" ucap seseorang yang baru saja menepuk pundak Handara sambil terus tertawa dengan memegang perutnya.

"Ya ampun, Rinwa! Kau mengejutkanku! Ada apa? Apakah ada masalah dengan kapalnya?"

"Tidak. Kapal tidak bermasalah. Aku hanya ingin memberitahumu bahwa ini saat yang tepat untuk berangkat."

"Baiklah, aku akan memberitahu kapten. Perlengkapan pelayaran juga sudah lengkap. Kauajak saja para kru untuk bersiap-siap."

"Baik." Setelah itu, Rinwa pergi untuk memanggil para kru kapal sedangkan Handara pergi ke penginapan Puwarla.

Tok tok tok

"Iya, masuk," ucap Puwarla dari dalam kamar.

Saat memasuki kamar, Handara terkejut karena kondisi kamar yang sangat berantakan. Bantal ada di lantai, selimut dan seprai juga berantakan. Bahkan, ada beberapa barang yang pecah. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Puwarla sedang terduduk di sudut kamar dengan wajah yang kusut.

Handara langsung menghampiri Puwarla dan memegang kedua bahunya. "Puwarla, Kawan, ada apa ini?" tanya Handara khawatir dengan keadaan sahabatnya itu.

Puwarla menjawab dengan senyuman yang tidak bisa diartikan oleh Handara. "Aku tak apa, Han. Kau tenang saja."

"Bagaimana aku bisa tenang?! Keadaanmu sangat kacau, La! Katakan, ada apa?!"

"Sudah kukatakan, Han. Aku tak apa-apa. Kau jangan khawatir seperti itu," jawab Puwarla sambil tersenyum. Senyum itu tak bisa diartikan apa maknanya oleh Handara. Senyum yang asing menghiasi wajah sahabatnya.

"La, sebentar lagi kapal akan berangkat. Apakah kita harus menundanya dulu sampai keadaanmu membaik?"

"Han, apa yang kaukatakan? Jangan tunda pelayarannya! Ini keinginan ibu agar kapal itu mengarungi seluruh samudra yang ada di muka bumi ini. Jika kita menundanya, waktunya tidak akan cukup, Han. Jangan menunda pelayarannya!" ucap Puwarla menggebu-gebu meski terdengar suaranya yang cukup lemah.

"Tapi bagaimana denganmu? Aku tak ingin sesuatu terjadi denganmu bila kau memaksakan pelayaran ini, La."

"Jangan ajak aku. Kau saja yang memimpin pelayaran ini. Aku akan tinggal di sini. Beberapa hari lagi aku akan pulang ke rumah ibu dengan kapal Wimda, saudagar dari Tanah Grada."

Setelah Puwarla mengucapkan rencananya, hanya keheningan yang melingkupi mereka berdua. Handara menatap lekat tubuh Puwarla sedangkan Puwarla menunduk dalam guna menghindari tatapan menyelidik dari sahabatnya itu. Dia tidak ingin kebenaran mengganggu pikiran Handara dan keinginan ibunya ini tidak akan bisa selesai pada waktunya.

Handara mengembuskan napasnya lalu menariknya pelan. "Baiklah. Jika aku memaksamu mengatakan yang sebenarnya, kau tak akan mau buka mulut. Baik-baik di sini. Jika sudah sampai di rumah ibu, katakan padanya kalau aku akan menyelesaikan pelayaran ini. Lagipula, ini pelayaran yang terakhir. Baik-baiklah, Kapten Puwarla."

Di saat kata terakhir dari Handara terucap, Puwarla mendongak dengan cepat. Namun, ternyata Handara sudah berdiri membelakanginya dan pergi begitu saja tanpa menengok ke bekalang.

'Maafkan aku, Adikku. Aku tidak ingin kau mendapatkan masalah lagi. Kali ini, cukup aku rasakan sendiri kepedihan ini. Maafkan aku, Sukmaku.'



Handara meninggalkan kamar Puwarla dengan hati yang tak tentu. Dia cemas dan khawatir terhadap kondisi sahabatnya itu. Akan tetapi, dia juga merasa harus memuntaskan pelayaran ini dengan segera. Apakah dirinya jahat dengan meninggalkan Puwarla sendiri?

Handara berjalan menaiki kapal yang sudah siap berlayar. Di atas kapal, dia dihadang oleh Rinwa yang tengah bersendekap. Terlihat wajah heran Rinwa kala itu tak mendapati kaptennya bersama Handara.

"Kapten di mana, Han?"

"Kapten tidak akan ikut dalam pelayaran ini. Kali ini, aku yang akan memimpin pelayaran."

"Apa alasannya? Kapten tak akan pergi begitu saja meninggalkan pelayaran ini," tanya Rinwa penuh selidik. Bagaimana bisa Handara meninggalkan kaptennya sendiri di sini? Pelayaran ini bisa ditunda bila memang ada urusan mendesak.

"Aku juga tidak tahu apa alasannya, Wa. Kapten hanya menyuruhku untuk menggantikannya pada pelayaran terakhir ini."

"Tapi—"

"Sudahlah. Kita berangkat sekarang. Semakin cepat kita berangkat, semakin cepat pula kita akan pulang," ucap Handara sambil berlalu meninggalkan Rinwa. Dia berjalan ke tengah kapal untuk memerintahkan para kru mengangkat jangkar dan mulai berlayar.

Sepuluh hari pelayaran, tak ada kendala bearti yang dihadapi oleh Bahtera Hanlasi ini. Handara dapat memimpin pelayaran kali ini dengan sangat baik. Bahkan, banyak para awak kapal yang menganggap bahwa Handara lebih pantas menjadi kapten daripada Puwarla. Handara dianggap lebih bijaksana dan bertanggung jawab. Sangat berbeda dengan Puwarla yang suka tergesa-gesa dalam mengambil keputusan dan terobsesi menyelesaikan pelayaran ini tepat waktu tanpa melihat keadaan para anak buahnya.

"Han, beritahu aku. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Kapten Puwarla?" tanya Rinwa yang sampai saat ini masih penasaran apa alasan kaptennya tidak ikut dalam pelayaran terakhir. Akan tetapi, tak ada jawaban yang keluar dari mulut Handara. Rinwa yang jengah pun akhirnya menyerah untuk bertanya lebih lagi. Dia mengembuskan napasnya kasar dan mendekatkan wajahnya, atau lebih tepatnya mulutnya, ke telinga Handara kemudia berbisik, "Semoga ini bukan bagian dari rencanamu, Handara. Dan kalaupun ini rencanamu, semoga kau tidak menyesal di kemudian hari."

Bisikan Rinwa memang lirih, namun sangat menusuk. Seketika, Handara membelalakkan matanya. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa sudah tertangkap basah melakukan suatu kejahatan. Akan tetapi, dia memang tidak melakukan apa-apa terhadap Puwarla. Dia berani bersumpah untuk itu!

Setelah Rinwa berbisik, dia meninggalkan Handara yang berdiri membeku di dek kapal. Tanpa Handara ketahui, ada senyum tipis di wajah Rinwa sesaat setelah dia berbisik kepadanya.

"Aku tidak melakukan apa-apa," lirih Handara yang menatap sendu lautan di depannya.



Sebulan sudah berlalu sejak peristiwa yang membuat Puwarla menyerahkan tugas sebagai kapten kepada Handara. Saat ini, dia sudah berada di kampung halamannya, Pulau Gunari.

Saat kapal sudah bersandar di pelabuhan, dia meyakinkan tekadnya lagi, ini harus dilakukan. Dadanya bergemuruh hebat. Tak bisa dipungkiri bahwa ada ketakutan besar pada langkahnya ini. Bagaimana jika, bagaimana jika, pertanyaan itu selalu saja mengganggu hatinya. Tapi, sekarang dia sudah di sini. Dia tak bisa mundur lagi.

"Puwarla."

"Oh, Tuan Wimda. Terima kasih atas tumpangannya," ucap Puwarla berterima kasih kepada Wimda sambil tersenyum.

"Ah, kau ini. Jangan sungkan padaku. Lagipula, apa susahnya menolong calon menantuku sendiri?" ucap Wimda sambil menepuk pundak Puwarla.

"Sekali lagi, terima kasih, Tuan Wimda. Saya akan menemui ibu terlebih dahulu."

"Tunggu dulu. Aku dan putriku juga ikut. Aku ingin mempercepat pernikahan kalian. Jadi, aku sendiri yang akan melamarmu atas putriku."

"Baiklah. Saya senang Tuan dapat menemui ibu saya secepat ini."

"Tidak masalah. Lindiya, mari, Nak. Kita akan menemui calon mertuamu."

"Iya, Ayah."

Ketiga orang itu lalu pergi menemui ibu Puwarla. Mereka yang awalnya ingin menunggangi kuda, akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki.

Mereka sebenarnya tak sendiri. Ada lima bawahan Tuan Wimda yang ikut karena membawa seserahan yang dibawa langsung dari Tanah Grada. Ada lukisan, berbagai keramik, dan beberapa kain sutra dengan kualitas tinggi.

Setelah berjalan selama dua puluh menit, mereka sampai di rumah ibu Puwarla, Rundila. Maklum saja, jarak rumah Rundila dengan pelabuhan tak seberapa jauh. Jadi, mereka tak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di sana.

Tok tok tok

Pintu kayu yang sudah tua itu diketuk oleh Puwarla. Tak berapa lama, pintu itu terbuka dan muncullah seorang wanita terlihat berusia empat puluh dua tahun.

"Ibu," ucap Puwarla penuh haru lalu langsung memeluk wanita di depannya yang dipanggil ibu. Puwarla memeluk ibunya sangat erat saking rindunya.

"Puwarla, kau sudah pulang, Nak? Di mana adikmu?" tanya Rundila sambil mengurai pelukan Puwarla.

"Handara sedang menyelesaikan pelayaran. Dan aku di sini bersama Tuan Wimda ingin membicarakan sesuatu dengan ibu."

Pandangan Rundila lalu mengarah kepada laki-laki di samping putranya. Terlihat di matanya sosok itu tidaklah asing. Tapi siapa?

"Tuan Wimda? Maaf, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"

Tuan Wimda tersenyum dan berkata, "Saya rasa kita belum pernah bertemu, Nyonya. Saya baru pertama kali menjejakkan kaki di Pulau Gunari saat ini."

"Oh, saya salah mengira. Silakan masuk. Mari." Rundila mempersilakan Tuan Wimda bersama rombongannya untuk masuk ke dalam rumah.

Di dalam sana, Tuan Wimda mulai mengutarakan maksud kedatangannya untuk melamar Puwarla atas putrinya. Rundila awalnya sangat terkejut. Akan tetapi, melihat putranya yang sudah sangat yakin untuk menikahi putri dari Tuan Wimda akhirnya menyetujui pernikahan mereka.

Dalam pertemuan ini juga sudah ditentukan bahwa pernikahan Puwarla sangan Lindiya akan berlangsung seminggu setelah pertemuan ini dan akan dilangsunhkan di Pulau Gunari. Kabar ini dengan cepat menyebar ke seluruh pulau bahkan sampai ke beberapa pulau seberang. Hal ini tentunya juga mengingat bahwa Tuan Wimda adalah saudagar yang sangat terkenal.

Sehari sebelum pernikahan Puwarla dan Lindiya dilangsungkan, mereka berdua bertemu secara sembunyi-sembunyi di dekat pelabuhan saat malam hari.

"Ada apa? Kenapa kau ingin bertemu denganku, Lindiya?"

"Aku ingin bertanya kepadamu, Puwarla. Bersediakah engkau menjawabnya dengan jujur?"

"Tentu saja akan kujawab dengan kejujuran."

"Baiklah. Apa alasanmu menikah denganku, Puwarla?

"Untuk apa kau menanyakan hal ini? Esok kita menikah. Apakah jika jawabanku tidak sesuai dengan keinginanmu atau bahkan menyakiti hatimu, kau akan membatalkan pernikahan kita?"

"Tidak. Aku tidak akan membatalkan pernikahan kita. Aku hanya ingin tahu apa alasanmu menikah denganku supaya nantinya aku bisa bersikap dengan tepat."

"Sebenarnya aku menikah denganmu karena ayahmu memintaku untuk menjadi pendampingmu."

"Terima kasih sudah menjawab pertanyaanku, Puwarla. Bolehkah aku memelukmu?"

Puwarla tak menjawab pertanyaan Lindiya kali ini. Akan tetapi, dia merentangkan kedua tangannya. Lindiya pun menghambur ke pelukan Puwarla. Dia memeluk Puwarla dengan lembut namun hangat.

"Bisakah kau menerimaku?"

"Aku akan berusaha."

"Bolehkan aku memanggilmu 'Mas'?"

"Panggil aku sesukamu."

"Maukah kau hidup bersamaku? Membangun rumah tangga bersama? Merajut mimpi-mimpi kecil tapi indah? Menantikah hadirnya seorang anak, merawatnya, mengasihinya? Bersediakan engkau, Mas?" ucap Lindiya setengah terisak.

"Aku bersedia, Lindiya," ucap Puwarla parau sambil mengeratkan pelukannya kepada calon istrinya itu. Dan akhirnya Puwarla jatuh juga. Jatuh sejatuh-jatuhnya. Dia ingin melindungi wanita di pelukannya ini dengan nyawanya sendiri. Walaupun dia nanti akan melawan Handara, dia tak peduli. Karena dia telah jatuh. Jatuh terhadap wanita yang lemah.



Hari sudah berganti. Saat ini, persiapan pernikahan sudah selesai dan beberapa saat lagi pernikahan akan dilangsungkan.

Lindiya terlihat sangat cantik dengan baju kurung berwarna merah. Membuatnya memancarkan kepribadiannya yang lain dari biasanya. Dia terlihat sangat anggun dan bersahaja.

Puwarla pun mengenakan pakaian yang senada dengan Lindiya. Baju merah tak lupa dengan kain tenun warisan dari ayahnya yang dikalungkan di lehernya.

Upacara pernikahan berlangsung dengan lancar. Semua kalangan menerima pernikahan ini dengan suka cita karena memang mereka menganggap mereka berdua sangat cocok. Mempelai wanita adalah putri dari saudagar yang sangat terkenal. Sedangkan mempelai pria adalah seorang kapten yang dikenal keberaniannya dan pandai dalam tak tik berdagang.

"Selamat untuk kalian berdua. Semoga kau selalu bahagia, Nak," ucap Wimda sambil mengelus lembut kepala Lindiya. Hari ini dia resmi melepas tanggung jawabnya terhadap Lindiya.

"Iya, Ayah," jawab Lindiya dengan mata berkaca-kaca.

"Puwarla, jaga Lindiya, ya? Sekarang kau yang bertanggung jawab atasnya. Apakah aku bisa mengandalkanmu wahai menantuku?"

"Iya, Ayah. Anda dapat mengandalkan menantumu ini. Saya akan menjaga Lindiya melebih saya menjaga nyawa saya sendiri. Saya sudah bersumpah untuk itu," ucap Puwarla mantap.

"Baguslah. Sekarang aku dapat tenang melepas Lindiya."

Raut wajah Wimda terlihat lega seperti telah melepaskan beban yang berat. Bagaiman tidak, dia sudah mencari berbagai pemuda dari seluruh negeri untuk menikah dengan putri semata wayangnya dan menjaganya. Akhirnya dia menemukannya. Pemuda yang sesuai dengan keinginannya dan yang terpenting, dapat menjaga putrinya.

Dia telah selesai melakukan tugasnya sebagai seorang ayah dan berhasil memenuhi janjinya kepada mendiang istrinya untuk menikahkan putrinya dengan seorang kapten sekaligus pedagang yang sukses.

"Aku telah memenuhi janjiku, Riksa. Aku harap kau bahagia di sana," ucap Wimda sambil memandang hamparan laut di tengah malam. Di temani oleh rembulan dan bintang yang menerangi gelapnya langit malam.



Enam bulan sudah Bahtera Hanlasi berlayar dan akhirnya bahtera itu sudah bersandar di Pelabuhan Kimana yang ada di Pulau Yunda.

Pulau Yunda merupakan tujuan terakhir dari pelayaran yang beberapa tahun belakang ini dilakukan oleh Puwarla dan Handara. Setelah beberapa hari menetap untuk mengumpulkan bunga khas dari pulau ini dan menggambarnya, rombongan Handara akan pulang ke Pulau Gunari.

Sebenarnya, misi pelayaran ini adalah keinginan Rundila yang menginginkan tanaman atau bunga khas dari seluruh negeri. Dia juga ingin anak-anaknya menggambar tanaman atau bunga itu dalam sebuah buku. Memang cukup aneh, tapi setelah Rundila bermimpi bertemu dengan mendiang suaminya yang mengatakan bahwa dia ingin sebuah buku yang isinya jenis-jenis bunga dari seluruh negeri, Rundila langsung memerintahkan anak-anaknya yang baru selesai pulang dari pelayaran untuk melakukan permintaannya.

Handara turun dari kapal dan mengamati aktivitas pelabuhan.

"Ternyata dari sekian banyak tempat yang aku singgahi, Pulau Yunda ini adalah pulau yang paling membuat hatiku nyaman. Entah kenapa aku seperti pulang ke rumah," ucap Handara sambil tersenyum dengan hati yang senang.

Tiba-tiba, ada yang menepuk bahu Handara. Sontak saja, Handara terkejut.

"Hei!"

"Kau itu tetap saja mudah terkejut, Han," ucap Rinwa, seorang yang menepuk bahu Handara tadi.

"Kau itu selalu saja! Ada apa?" ucap Handara dengan kesal.

"Hanya ingin bertanya. Kita akan berapa lama tinggal di sini?"

"Kita masih punya banyak waktu sebelum kembali. Kita bisa tinggal di sini selama enam minggu. Ya, sekitar enam minggu."

"Baiklah. Aku akan mencari penginapan dulu. Nanti saat matahari tinggal setombak, kita bertemu di sini untuk memberitahu semua orang di mana kita menginap."

"Baiklah. Aku berkeliling dulu."

Handara mulai berkeliling di sekitar pelabuhan. Terlihat ada banyak saudagar kaya yang berlabuh di pulau ini. Mereka membawa barang dagangan terbaik yang mereka punya. Mulai dari kain, keramik, bahkan ada yang membawa perhiasan dari batu mulia.

Handara lalu meneruskan langkahnya memasuki pemukimam penduduk. Saat dia berjalan, tiba-tiba ada yang menabraknya dari belakang. Barang bawaan orang menabrak Handara berserakan di tanah. Si penabrak langsung memunguti barang bawaannya dan meminta maaf.

"Maafkan aku, Nak. Penglihatanku sudah mengabur. Maafkan aku," ucap seseorang yang menabrak Handara yang ternyata adalah seorang pria yang berumur sekitar lima puluh tahun ke atas.

Saat Handara melihat siapa yang menabraknya dari belakang itu, dia langsung terdiam di tempat. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Apakah dia sedang bermimpi?

"A—yah?" ucap Handara terbata.

Si penabrak yang dipanggil ayah itu terkejut bukan main. Siapa yang memanggilnya ayah? Dia hanya punya satu putra itu pun berada jauh di seberang. Apakah dia putranya itu?

"Maaf, Nak?"

"Ayah. Itu benar Ayah!" Handara langsung memeluk pria itu dengan sangat erat sambil menangis.

"Ayah, akhirnya aku menemukanmu. Kenapa Ayah tidak pulang ke rumah?" ucap Handara sambil mengeluarkan air matanya.

"Han—handara? Itu benar kau, Nak? Handara? Handara Siama Wara? Anakku?"

"Iya, Ayah. Ini aku, Handara, anakmu."

"Oh, Anakku," ucap ayah Handara sambil balas memeluk Handara tak kalah eratnya.

Setelah itu, Handara dan ayahnya, Gundara, pergi ke rumah Gundara. Rumah Gundara sangatlah sederhana namun sangat terawat.

Saat mereka duduk di teras, Handara mulai bertanya pertanyaan yang selama ini ingin ditanyakan kepada ayahnya.

"Ayah, kenapa ayah tidak pulang?"

"Ayah tidak bisa pulang. Ayah dijaga di pulau ini."

"Dijaga? Oleh siapa?"

"Oleh anak buah Saudagar Wimda."

"Tapi kenapa?"

"Karena dia tidak rela ayah melampauinya. Juga masalah istrinya, juga ibumu."

"Apa maksud Ayah?"

"Istrinya, Riksa, adalah ibumu, Nak."

"I—ibuku? Bagaimana bisa?"

"Kisahnya panjang, Nak. Ibumu, dia adalah—"



Sudah empat minggu Handara dan rombongan memetap di Pulau Yunda. Ada yang mencari dan mengumpulkan tanaman khas Pulau Yunda. Ada yang hanya sekadar berjalan-jalan menikmati suasana di Pulau Yunda, ada juga yang memantapkan niatnya untuk membalas dendam.

Selama empat minggu ini Handara tidak tinggal di penginapan bersama para kru kapalnya. Dia tinggal bersama ayahnya. Selama tinggal bersama ayahnya, Handara setiap saat semakin membulatkan tekadnya untuk membalas dendam kepada Wimda. Ya, dia harus membalas apa yang telah diperbuat Wimda kepada keluarganya.

Di akhir minggu keenam, Handara dan para awak kapal bersiap untuk kembali ke Pulau Gunari guna meminta izin sang ibunda untuk membalas dendam. Biar bagaimanapun, Rundila adalah wanita yang selama ini merawatnya sejak ayahnya menghilang. Jadi, Handara akan memberitahu maksud kepulangannya dan meminta izin untuk itu.

"Handara, kita akan pulang?" tanya Rinwa kepada Handara. Saat ini, mereka telah berada di atas kapal. Tinggal menunggu perintah Handara, jangkar akan diangkat dan kapal akan mulai berlayar.

"Iya. Kita akan pulang. Pulang ke Gunari," jawab Handara mantap. Terlihat ada api yang membara di matanya. Akan tetapi, Rinwa tak ingin meneruskan pertanyaan apa yang membuat Handara seperti tidak sabar untuk pulang.

"Han, apakah orang tua itu juga harua ikut? Memangnya dia siapa?" tanya Rinwa sambil menunjuk ayah Handara yang berada di seberang mereka.

"Iya, beliau akan ikut. Beliau adalah ayahku, Wa. Aku belum memberitahumu tentang ini."
Rinwa tak mengucapkan sepatah kata pun. Setelah itu, dia pergi dari sana.



Setelah dua bulan menikah, Lindiya dinyatakan mengandung. Hal itu tentu saja membuat semua orang bahagia, terlebih Puwarla. Dia adalah orang yang sangat bahagia setelah mengetahui bahwa istrinya sedang mengandung anaknya.

"Terima kasih, Lindiya. Engkau telah memberiku kebahagian yang tiada tara. Terima kasih," ucap Puwarla sambil mengelus lembut perut Lindiya yang masih terlihat rata.

"Jangan berterima kasih kepadaku, Mas. Ini semua anugerah dari Tuhan. Berterima kasihlah kepada-Nya." ucap Lindiya lalu tersenyum lembut.

"Iya. Mas akan berterima kasih kepada Tuhan karena telah memberikan mas pendamping sepertimu dan anak yang mas nantikan."

Di bawah sinar rembulan, Lindiya dan Puwarla saling menatap, menyelami masing-masing netra dan hati. Keduanya saling melempar senyum dan mengeratkan genggaman tangan. Ini adalah kebahagiaan yang mereka impikan.



Sembilan bulan telah berlalu. Saat ini, Lindiya sedang berusaha berjuang antara hidup dan matinya.

Puwarla menanti dengan cemas. Dia tidak pernah melihat Lindiya kesakitan seperti itu.

Tak berapa lama kemudian, terdengar suara tangisan bayi. Puwarla seketika membeku dan tak lama air mata keluar membasahi wajahnya.

"Anakku," lirih Puwarla dengan hati yang berbunga.

Lindiya telah melahirkan seorang putra. Putranya itu diberi nama Pindama. Pindama merupakan anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada Lindiya dan Puwarla.



Perjalanan Handara bersama rombongannya sudah setengah jalan. Mereka sudah enam bulan berlayar dan sekarang singgah di pelabuhan dimana dia dan Puwarla berpisah.

Mereka akan menetap di sana sekitar seminggu. Setelah itu, mereka akan langsung pergi ke Pulau Gunari.

"Kita akan singgah di sini selama seminggu. Setelah itu, kita akan mulai berlayar lagi," ucap Handara kepada seluruh awak kapalnya.

Mereka semua mulai turun dari kapal dan mencari penginapan. Selama beberapa hari kedepan, Handara lebih sering bersama ayahnya guna mendengar cerita yang lebih rinci tentang hubungan keluarganya dengan Wimda. Sementara itu, Rinwa hanya melihat Handara dari jauh. Dia tak berniat untuk bertanya ataupun mengurusi urusan Handara dengan pria yang dipanggil ayahnya itu. Yang Rinwa pikirkan adalah dia ingin segera pulang dan memeluk keluarga kecilnya. Rasanya dia sangat rindu dengan suara lucu putranya yang masih umur satu tahun saat dia mulai berlayar. Saat Rinwa pulang, putranya itu sudah berumur tiga tahun.

"Ayah, bagaimana cara kita membalas dendam?"

"Kita gunakan cara yang sama. Kita pakai putrinya untuk mengancam Wimda. Setelah itu, kita asingkan dia dan putrinya ke pulau terpencil. Ayah tahu di mana pulaunya."

"Baiklah, Ayah. Aku akan mengikuti perintah Ayah."



Setelah enam bulan menempuh perjalanan, akhirnya kapal Handara sampai juga di Pulau Gunari. Mereka mulai mengemasi barang masing-masing dan bersiap turun dari kapal. Para kru kapal akan beristirahat sampai kapten mereka memberikan arahan berlayar selanjutnya. Para kru biasanya akan menghabiskan waktu bersama keluarga atau bahkan ada yang berdagang.

Handara dan ayahnya berjalan menuju rumah Rundila. Saat mereka sampai di depan rumah, mereka melihat Rundila sedang menyiram tanaman kesayangannya. Tanpa pikir panjang, Handara berteriak nama ibu asuhnya dan berlari lalu memeluknya.

"Ibu! Handara pulang!" teriak Handara sambil berlari. Dia lalu memeluk erat Rundila guna menyalurkan rasa rindu dan syukurnya karena bisa bertemu kembali dengan ibu asuhnya.

"Handara, akhirnya kamu pulang, Nak. Ibu sudah rindu denganmu," ucap Rundila sambil membalas pelukan Handara.

"Iya, Bu. Handara juga rindu dengan Ibu," ucap Handara sembari mengeratkan pelukannya kepada ibu asuhnya.

Setelah dirasa cukup, Handara mengurai pelukannya lalu menggenggam tangan Rundila.

"Ibu, Handara pulang dengan ayah," ucap Handara dengan senyum yang menghiasi wajahnya.

"Ayah?"

"Iya, Bu. Ayah." Handara lalu mengarahkan pandangannya ke belakang. Rundila mengikuti pandangan Handara dan saat dia melihat sosok yang selama ini tak pernah dijumpainya, dia seakan tak percaya dengan pandangannya sendiri.

"Nak, i—itu ayahmu? Itu ... Gu—gundara?"

Gundara yang melihat ke arah Rundila lalu tersenyum. Sudah lama dia tak bertemu dengan wanita manis itu.

"Aku kembali, Rundila."

Rundila menangis melihat Gundara yang sudah ada di depannya. Ini nyata, benar-benar nyata!

"Ibu," panggil Lindiya dari dalam rumah. Handara dan Gundara tak kenal dengan suara wanita itu. Siapa dia?

Saat Lindiya sudah berada di samping ibu mertuanya, dia melihat ada dua laki-laki yang tak dikenalnya. Lantas, dia menanyakannya pada ibu mertuanya.

"Ibu, mereka siapa?"

"Pemuda yang tampan itu anakku, Handara dan laki-laki di sebelahnya adalah ayahnya. Dia adalah putraku yang sering kuceritakan padamu."

"Ah, salam kenal. Nama saya Lindiya, istri dari Mas Puwarla."

Handara dan Gundara seketika terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh wanita muda di depan mereka ini. Istri? Terlebih Gundara sudah memasang raut wajah tak suka dengan Lindiya.

"Kau putri dari Wimda itu, 'kan?" tanya Gundara dengan penuh penekanan.

"I—ya, Tuan."

"Sedang apa kau di sini? Apa rencanamu dengan ayahmu itu?! Ingin menghancurkan keluargaku, begitu?!" tanya Gundara dengan emosi yang menguasainya.

"Apa maksud Tuan?"

Sementara itu, Puwarla yang baru pulang dari pasar dikejutkan dengan pulangnya Handara dengan ayahnya. Dia langsung menghampiri mereka dan memeluk Handara dengan erat. Handara yang dipeluk oleh kakaknya pun membalas.

Setelah itu, Handara bertanya kepada Puwarla apakah benar Lindiya adalah istrinya. Dan jawaban Puwarla membuat api amarah yang ditahannya sejak tadi berkobar. Dia ingin marah kepada Puwarla, tapi dia berpikir bahwa kakaknya itu tidak tahu siapa Lindiya sebenarnya. Oleh karena itu, dia meminta kakaknya untuk berbicara empat mata dengannya di tepi pantai.

"Kak, apakah kau akan mengabulkan permintaanku?" tanya Handara lirih yang sangat jelas terdengar jika dia berhati-hati ingin menyampaikan maksudnya. Biar bagaimana pun, dia juga tidak tega jika membuat kakaknya itu menderita.

"Tentu saja. Apa yang kau inginkan?" jawab Puwarla dengan wajah berserinya. Bagaimana tidak, adiknya itu jarang sekali meminta sesuatu darinya. Jadi, saat dia meminta sesuatu dari dirinya, Puwarla akan mengabulkannya. Pasti!

"Tapi permintaanku ini mungkin akan membuatmu menderita," ucap Handara yang mana terselip rasa tak tega.

"Apa yang kau katakan? Jangan bercanda! Tidak ada yang akan membuatku menderita. Justru jika aku tidak bisa memenuhi permintaanmu, aku akan menyalahkan diriku sendiri," ucap Puwarla dengan senyum yang menghiasi wajahnya.

"Aku ingin kakak meninggalkan Lindiya."

Puwarla sangat terkejut dengan permintaan Handara. Akan tetapi, setelah itu dia tersenyum manis, sangat manis. Handara yang melihatnya pun heran. Seharusnya Puwarla marah, bukannya tersenyum.

"Baiklah jika itu keinginanmu. Aku akan meninggalkan Lindiya. Demi dirimu." Setelah mengatakan itu, Puwarla menggandeng tangan Handara lalu berkata, "Ayo pulang, Ibu pasti sudah menunggu kita." Handara hanya menatap sendu punggung laki-laki di depannya itu. Maafkan aku, Kak.



Pagi harinya, Lindiya beserta Pindama sedang berada di tepi pantai. Lindiya menggendong Pindama yang sepertinya mulai mengantuk karena angin yang berembus pelan.

Puwarla mendekat dan berdiri di samping istrinya. Dia hanya diam. Lindiya pun berniat membuka percakapan. Namun, sebelum dia bicara, Puwarla sudah terlebih dahulu bersuara.

"Lindiya, aku sudah jatuh kepadamu," ucap Puwarla sambil menatap wajah Lindiya dengan lembut. Lindiya mengerutkan keningnya. Heran dengan ucapan yang baru saja dilontarkan oleh suaminya.

"Jangan bersedih, ya?" ucap Puwarla lagi. Kali ini, matanya berkaca. Setelah itu, langsung memeluk Lindiya berserta putranya dengan penuh perasaan.

"Mas Puwarla kenapa?"

"Lindiya harus kuat," ucap Puwarla sambil mengurai pelukannya. Terlihat air mata masih membasahi wajahnya. Puwarla terlihat sangat kacau.

"Mas sudah menyiapkan kapal untukmu dan putra kita mengunjungi ayah mertua di pulau seberang. Akan tetapi, mas tidak bisa ikut, harus mendampingi ibu dan ayah. Tidak apa-apa, kan?"

"Iya, Mas. Lagipula Lindiya sudah sering berlayar sendiri. Lokma juga ada untuk menjaga Lindiya. Jadi, Lindiya tidak perlu cemas."

"Baiklah. Mari pulang. Hari sudah semakin terik."

"Iya."



Seperti yang sudah dikatakan Puwarla kepada Lindiya, hari ini Lindiya beserta Pindama akan mengunjungi saudagar Wimda karena memang ini adalah tradisi yanh harus dilakukan apabila seorang anak perempuan sudah satu tahun berada di rumah suaminya.

"Hati-hati, Lindiya."

"Jaga kesehatan, Mas."

Kapal yang membawa Lindiya serta Pindama mulai meninggalkan dermaga menuju pulau seberang.

"Maafkan mas, Lindiya. Ini adalah kali terakhir untuk kita."

Handara yang berada di samping Puwarla menatap kakaknya dengan heran. Wajah Puwarla terlihat sangat sedih. Padahal Lindiya hanya akan pergi selama satu bulan.

"Kak, kenapa sedih? Lindiya hanya pergi selama satu bulan," ucap Handara dengan setengah hati karena dia masih membenci Lindiya.

"Tidak. Aku sedang melakukan permintaanmu. Sudah, sekarang mari pulang. Aku masih rindu denganmu. Berceritalah saat di rumah nanti," ucap Puwarla sambil menarik tangan Handara untuk pulang. Sedangkan Handara jangan ditanya, dia terkejut bukan main.

'Kakak ....'


Tamat




[ekhem, eeemmmmm ... maaf ya, ceritanya aneh. Endingnya juga jelek!]

Terima kasih sudah membaca 😊

Komentar

Postingan Populer