Surat Untuknya


Di rumah,
Minggu pagi,

Untuk : Dirinya

Hai, apa kabar? Sebuah sapaan yang umum bukan? Aku tahu itu, jangan kau pikir aku akan melakukan sapaan yang sangat heboh. Hahaha, bicara apa aku ini? Lupakan saja tentang sapaan itu.

Apa yang kau lakukan pagi ini? Jalan-jalan kah? Kebanyakan orang melakukannya di Minggu pagi. Apakah kau melakukannya juga?

Minggu pagi ini sangat dingin. Apakah kau juga merasakannya? Kalau aku sih kedinginan. Hehehehe...

Bersepeda. Aku melihatmu di sana. Kebetulan bukan? Ya, aku melihatmu di sana.

Berjalan, kau pernah jalan-jalan? Kalau aku sih tidak pernah. Ah, tidak. Aku pernah, tapi tidak sering. Bisa dihitung dengan jari.

Apakah kau punya sahabat? Aku punya. Bagaimana sahabatmu itu? Pasti sangat baik bukan? Sahabatku juga baik.

Ah, aku lupa dengan tujuan awalku menulis surat ini untukmu. Apakah kau punya masalah? Karena aku lihat sikapmu berubah. Aku benar kan?

Sebenarnya aku heran, kau yang punya masalah tapi aku yang merasakan sakit. Sangat aneh bukan?

Hahaha... Apakah kau tahu kenapa aku sakit? Kau mau tahu tidak? Tidakkah? Tak apa, aku akan memberitahumu.

Aku sakit karena kau berubah. Aku sakit karena tak kau hiraukan. Bukankah kau orang yang banyak bicara? Tapi kenapa sekarang kau diam? Hahaha.... Sudah jelas jika kau menghindar.

Aku bertanya-tanya, sebenarnya apa yang telah terjadi kepadamu? Apakah ada hubungannya denganku? Apakah aku yang menjadi penyebab dari masalahmu?

Apakah kau tahu? Sebenarnya aku mempunyai dugaan. Aku menduga bahwa kau berubah karena aku. Ah, lebih tepatnya, akar dari masalahmu adalah aku. Aku benar bukan?

Sudahlah. Jangan mengelak lagi. Aku itu seorang pengamat dan juga peka. Aku tahu bahwa aku yang menjadi akar masalahmu. Tapi...... Sudahlah. Biar bagaimanapun, tetap aku yang salah.

Sebenarnya, aku sudah lelah tak kau hiraukan. Kau tahu bagaimana perasaanku? Perasaan takut. Iya, aku takut karena ini semua berakar dariku. Aku takut semua dugaan ku benar.

Tapi, bagaimana lagi? Kau menghilang ditelan bumi. Sudahlah. Jika kau memang tak mau memberikan alasannya, tak apa. Karena aku sudah cukup lelah.

Jika kau tak peduli, untuk apa aku peduli? Sudahlah. Aku tak mau membahasnya lagi.

Yang terakhir, aku minta maaf dari lubuk hatiku yang terdalam. Aku sadar jika ini semua berawal dariku. Maka dari itu, aku minta maaf yang sebesar-besarnya.

Mungkin itu saja yang ingin aku katakan. Jika bisa, tolong beritahu aku apa sebenarnya masalahmu supaya aku tak lagi dihantui rasa bersalah.

Sekian isi surat ini, aku harap kau baik-baik saja. Sampai berjumpa lagi.



Tertanda

Diriku

Komentar

Postingan Populer