Dia yang Membutuhkan Kasih Sayang tapi Tak Ingin Kasih Sayang

Gadis itu terlihat kesal. Dia melemparkan kerikil ke sungai yang ada di depannya. Bukan hanya satu dua kerikil yang dia lemparkan, tapi bisa satu genggaman kerikil sekaligus. Berulang kali dia melemparkan kerikil-kerikil tak bersalah itu. Dan berulang kali dia mengembuskan napas kasar.

"Arrgghh ... kenapa seperti ini? Apa aku tidak lebih penting dari semua urusan mereka. Sebenarnya di mana tempatku di hidup mereka!" teriak gadis itu frustasi. Dia sebenarnya tak mengerti ada apa dengan keluarganya. Dia dari kalangan yang bisa disebut berada. Ayahnya pengusahan yang sukses dan ibunya seorang perancang busana yang sudah terkenal. Bukankah itu semua menjadikan kehidupannya menjadi sangat baik? Semua kebutuhannya terpenuhi. Akan tetapi, tetap saja dia tak merasakan kebahagiaan. Dia tak bahagia.

Jangan mengira bahwa dia adalah anak satu-satunya. Dia mempunyai seorang kakak laki-laki dan adik perempuan. Jadi, dia anak tengah di keluarganya. Yang tidak dia mengerti, kenapa hanya dia yang merasa tak diperhatikan oleh kedua orang tuanya? Kakak laki-lakinya, Fahri, selalu mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya, terlebih dari ibunya. Ibunya selalu bersikap lebih lembut jika bersama dengan kakak laki-lakinya itu. Sementara adiknya, Dara, sangat dekat dengan ayahnya. Dia sangat dimanja. Dia diperlakukan bak seorang putri. Sedangkan dia, dia memang selalu dipenuhi kebutuhannya, dia tak pernah kekurangan, tapi dia juga membutuhkan kasih sayang. Dia juga ingin diberi usapan lembut di kepala saat mendapatkan nilai yang bagus seperti kakaknya. Dia juga ingin dipeluk setiap sebelum tidur seperti adiknya. Dia ingin itu semua.

Selama tiga jam dia duduk di tepi sungai seperti itu. Sekarang matahari sudam mulai terbenam dan mulai menunjukkan gelapnya langit malam. Dia memutuskan untuk berdiri dari duduknya dan menepuk pelan rok putih birunya yang kotor. Sekali lagi, dia menatap air sungai yang mengalir dengan tenang. Mengembuskan napas sekali lalu beranjak dari sana, pulang ke rumah.

Sepanjang jalan, dia hanya menatap kosong jalanan yang dilewatinya. Entahlah, dia hanya tak peduli akan apa yang orang pikirkan tetang seorang gadis yang masih berseragam sekolah berjalan sendirian di malam hari. Masa bodoh dengan mereka semua.

Dia berhenti di depan sebuah rumah mewah. Dia tak langsung masuk ke sana. Dia hanya memandang sendu rumah mewah itu. Rasanya jika terlalu lama memandang rumah itu, air mata yang selama ini dipendamnya akan keluar dan dia tak ingin itu terjadi. Segera, dia melangkahkan kakinya memasuki rumah itu.

Saat membuka pintu, dia berharap akan ada yang menegurnya. Akan ada yang bertanya padanya. Atau bila bisa, dia ingin dimarahi habis-habisan. Akan tetapi, saat dia membuka pintu, tak ada salah satu harapannya yang terwujud. Semua anggota keluarganya hanya menatap kepulangan dirinya lalu kembali bercengkerama. Tak ada yang bertanya padanya kenapa pulang malam. Tak ada yang memarahinya karena tak memberika kabar. Tak ada yang menegurnya karena pulang malam. Tak ada. Sebenarnya aku bagian dari keluarga ini atau bukan?

Tak ingin berlama-lama melihat interaksi keluarganya yang terlihat hangat, dia segera berlari menuju kamarnya. Lebih baik dia tidur dan melupakan semuanya. Lebih baik seperti itu.

•••

Matahari sudah menampakkan dirinya. Sinarnya menyinari pagi yang berselimut dinginnya udara. Menggantikan sang malam untuk membangunkan manusia dari tidurnya. Mengantarkan manusia pada hari yang lebih baik. Tapi, apakah itu semua berlaku pada Wulan?

Wulan sudah siap dengan seragam sekolahnya sejak pukul setengah enam pagi. Terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah, bukan? Tapi, memang seperti itu rutinitas Wulan setiap pagi. Dia akan menunggu di meja makan yang makanannya akan disiapkan oleh bi Ayu.

"Loh, Non? Sudah ada di meja makan ternyata," ucap bi Ayu terkejut melihat Wulan sudah berada di meja makan. Memang sudah biasa jika bi Ayu melihat Wulan berada di meja makan pukul setengah enam seperti ini. Akan tetapi, dia tetap terkejut saja melihat rutinitas anak dari majikannya itu.

"Iya. Aku makan dulu, Bi," ucap Wulan kepada bi Ayu agar membuatkannya sarapan. Dia akan sarapan terlebih dahulu tanpa menunggu anggota keluarga lain dan akan langsung berangkat ke sekolah dengan sepeda birunya.

Bi Ayu sangat terkejut dengan penuturan nona mudanya itu. Bagaimana tidak? Nona mudanya itu biasanya akan menunggu anggota keluarga yang lain untuk sarapan. Akan tetapi, sekarang dia memilih untuk sarapan terlebih dahulu. "Non tidak menunggu seluruh keluarga?" tanya bi Ayu hati-hati. Biar bagaimanapun, dia sedikit tahu apa yang terjadi di keluarga ini. Akan tetapi, dia tidak berani mengambil kesimpulan.

Tanpa diduga, Wulan segera bangkit dari tempat duduknya dan menatap tak suka kepada bi Ayu. "Aku langsung berangkat saja," ucap Wulan dengan raut wajah menahan kesal lalu segera beranjak dari sana.

"Non, saya buatkan bekal dulu," teriak bi Ayu kepada Wulan. Akan tetapi, Wulan seakan tak mendengar apapun. Dia terus saja berjalan tanpa menggubris perkataan bi Ayu.

"Bi, ada apa? Saya tadi dengar Bibi berteriak," tanya Luna, ibu Wulan, penasaran kepada bi Ayu. Memangnya pagi-pagi seperti ini terjadi keributan apa?

"Non Wulan mewelatkan sarapannya. Non Wulan juga tidak mau saya buatkan bekal," jelas bi Ayu kepada Luna yang sudah duduk di kursi meja makan.

"Oh, yasudah. Tolong buatkan siapkan roti dengan selai cokelat saja, Bi. Hari ini saya ingin sarapan yang simple saja."

"Oh? Ba—ik, Nyonya," jawab bi Ayu takut-takut.

•••

Gerbang sekolah sudah terbuka yang berarti penjaga sekolah sudah membuka kunci gerbang yang meskipun sekarang ini masih menunjukkan pukul enam kurang seperempat. Bisa dibayangkan jika sekolah akan sangat sepi. Hanya ada petugas kebersihan yang membersihkan lingkungan sekolah.

Wulan berjalan dengan santai sambil menuntun sepeda birunya menuju parkiran khusus sepeda. Setelah meletakkan sepedanya di sana, dia langsung berjalan ke ruang kelasnya yang berada di lantai dua.

Setelah sampai di kelas, dia segera duduk di bangku yang berada di bagian paling belakang lalu menelungkupkan kepalanya ke meja. Dia ingin tidur sebentar sambil menunggu para siswa datang.

•••

"Ardani, Ardara, cepat turun! Katanya tadi kalian ada piket hari ini?" tanya Yanti, ibu si kembar, dengan berteriak dari meja makan. Tak lama kemudian, muncullah si kembar yang lari tergesa-gesa turun dari tangga.

"Ma, kita langsung berangkat aja," ucap Ardani kepada ibunya yang sudah siap untuk mengantar kedua anaknya itu.

"Eh?! Kalian nggak sarapan dulu?"

"Enggak, Ma. Kita mau langsung berangkat aja. Mama sudah menyiapkan bekal untuk kita berdua, kan? Kita makan bekal aja," ucap Ardara sambil mengambil kotak bekal berwarna cokelat di atas meja makan disusul dengan Ardani yang juga mengambil bekalnya.

"Ya sudah, kita langsung berangkat."

Perjalanan mereka untuk ke sekolah membutuhkan waktu lima belas menit dengan mengendarai mobil. Setelah sampai, Ardani dan Ardara langsung mencium tangan sang ibu dan memasuki kelas mereka. Kebetulan, mereka berada di kelas yang sama, tempat duduknya pun sebangku.

"Ternyata jam enam lebih sepuluh menit masih sepi, ya ...." ucap Ardani kepada Ardana saat mereka menaiki anak tangga untuk sampai ke kelas. "Ya jelaslah. Ini masih pagi. Masih pada sarapan," jawab Ardara menanggapi ucapan kembarannya.

Saat memasuki kelas, mereka dikejutkan dengan adanya seorang siswa yang sudah datang. Mereka mengira bahwa yang pertama kali sampai di sekolah adalah mereka berdua.

"Kak, bukannya itu Wulan, ya?" tanya Ardara kepada kembarannya. "Iya, itu Wulan. Dia kok sudah datang?" tanya Ardani penasaran. Mereka akhirnya memutuskan untuk menghampiri Wulan dan membangunkannya.

"Wulan," panggil Ardara sambil menepuk pelan lengan Wulan. Tak lama, Wulan pun sadar dari mimpinya dan terbangun.

"Egh? Ada apa?"

"Oh, enggak. Lanjutkan tidurmu," jawab Ardani asal karena dia memang tak tahu apa alasan dirinya membangunkan Wulan. Wulan yang mendapat jawaban seperti itu dari teman sekelasnya merasa bingung. Akan tetapi, dia tak terlalu memikirkan itu dan kembali menelungkupkan kepalanya ke atas meja guna melanjutkan tidur paginya.

"Ya udah yuk, Kak. Kita piket. Keburu banyak yang datang. Nanti repot kalau sudah banyak orang," ucap Ardara memberi saran. "Oh, oke. Ayo piket!"

•••

Bel pulang sudah berbunyi yang menandakan sekarang sudah waktunya para siswa untuk pulang. Tentu hal ini juga berlaku pada Wulan. Dia segera mengemasi barang-barangnya dan keluar kelas.

Saat sampai di parkiran, dia terkejut karena ban sepedanya bocor. Dia kebingungan bagaimana caranya untuk pulang. Saat itu, kebetulan Ardani dan Ardara sedang melintas di dekat parkiran sepeda. Mereka melihat raut cemas Wulan dan memutuskan untuk menghampirinya.

"Lan, kamu kenapa?" tanya Ardara.

"Itu, ban sepedaku bocor."

"Bagaimana kalau kamu bareng kita aja?" tawar Ardani.

"Nggak papa? Terus sepedaku?"

"Sepedamu juga dibawa. Nanti kita mampir dulu ke tempat tambal ban," ucap Ardara menjelaskan.

"Oh, oke. Aku ikut bareng kalian, ya."

Mereka bertiga akhirnya menunggu ibu dari si kembar menjemput. Setelah menunggu selama sepuluh menit, ibu si kembar datang menjemput.

"Ma, sekalian antar Wulan, ya?" pinta Ardara kepada ibunya.

"Wulan? Oh! Kamu Wulan anaknya Bu Luna, perancang busanan itu?" tanya Yanti dengan heboh.

"I—ya."

Yanti pun langsung memeluk Wulan dengan sangat erat. "Wah, akhirnya bisa ketemu sama kamu. Tante udah lama banget nggak ketemu sama Luna. Dia itu susah dihubungi. Oke, kita langsung ke rumahmu saja."

•••

Setelah sampai di rumah Wulan, kedatangan Yanti ternyata disambut hangat oleh ibu Wulan, Luna. Ternyata, mereka adalah sahabat dekat yang jarang bisa bertemu karena kesibukan masing-masing.

"Mari masuk," ucap Luna mempersilakan Yanti masuk ke dalam rumah. Mereka pun masuk dan duduk di ruang tamu terkecuali Wulan. Dia memutuskan untuk pergi ke kamarnya daripada menjadi pihak yang mengganggu yang bisa disebut reuni ini. Dia tahu diri.

"Eh, Wulan. Mau ke mana? Sini, duduk dulu. Kita ngobrol-ngobrol," ucap Yanti menarik tangan Wulan lembut agar kembali duduk. "Sudah, biarkan Wulan ke kamarnya. Mungkin dia sedang kelelahan," ucap Luna dengan memandang Wulan. Dan Wulan juga tahu apa arti ucapan dan pandangan itu—pengusiran secara halus.

Wulan segera melepaskan tangan Yanti dari lengannya,"Kapan-kapan saja Wulang mengobrol dengan Tante, kan masih bisa lain kali. Wulan saat ini sedang sangat lelah, ingin segera istirahat," ucap Wulan dengan senyum yang dipaksakan.

Yanti merasa aneh dengan hubungan ibu dan anak ini. Sebenarnya ada apa? Akan tetapi, tak ingin terus mengusik privasi keluarga dari sahabatnya itu, dia akhirnya membiarkan Wulan untuk pergi.

"Oiya, Yanti. Bagaimana kabarmu? Sudah lama sekali kita tak bertemu. Ini pasti putra putrimu, ya? Wah, mereka kembar," ucap Luna berusaha mengalihkan perhatian Yanti. Yanti lalu mengalihkan pandangannya pada Wulan yang berjalan menuju kamarnya untuk menanggapi ucapan sahabatnya itu.

•••

Keesokan harinya, Wulan menjalani aktivitasnya seperti biasa. Berangkat ke sekolah dengan sepeda birunya dan menjalani kegiatan belajar di sekolah dengan tidak bersemangat.

Saat dia akan pulang, dia diminta untuk berkunjung ke rumah Ardani dan Ardara. Karena tak enak menolak ajakan mereka, dia akhirnya mau ikut pulang ke rumah mereka.

Kali ini, yang menjemput si kembar adalah ayah si kembar, Bagus. Di dalam mobil, ayah si kembar selalu bertanya kepada Wulan. Dia ingin membuat Wulan nyaman. Akan tetapi, Wulan merasa kurang nyaman dengan perlakuan ayah si kembar.

Saat mereka telah sampai di rumah si kembar, keempatnya di sambut dengan hangat oleh ibu si kembar. Untuk sesaat, hati Wulan terasa hangat. Ini yang dia inginkan sedari dulu. Akan tetapi, dia sadar, orang tuanya saja tak mempedulikan dirinya untuk apa mengharapkan dan menikmati perlakuan hangat dari orang lain? Dia tak ingin dikasihani.

Di rumah itu, Wulan selalu diperlakukan dengan sangat baik. Bahkan bisa dikatakan, Wulan diperlakukan seperti anak sendiri oleh orang tua si kembar. Hal itu membuat hati Wulan merasa panas. Sebenarnya apa yang diinginkan oleh mereka?

Saat hanya ada dia dan ibu si kembar di ruang keluarga, ibu si kembar tiba-tiba menggenggam lembut tangan Wulan. "Nak, kamu boleh menganggap Tante sebagai ibu kamu sendiri. Kamu bisa menganggap Om Bagus sebagai ayah kamu sendiri. Kamu bisa menganggap Ardani dan Ardana sebagai saudara kamu sendiri," ucap Yanti dengan lembut.

Seketika hati Wulan menjadi tersinggung. Apakah keluarga ini kasihan padaku? Aku tak butuh belas kasihan dari mereka! "Apa yang Anda katakan, Nyonya? Saya tidak tertarik dengan itu semua. Saya sudah bahagia dengan kehidupan saya sendiri. Terima kasih atas segalanya, saya permisi," ucap Wulan menahan amarahnya dan berdiri bersiap untuk pulang.

"Nak, jangan salah paham dulu. Tante peduli sama kamu. Tante sudah tahu apa yang terjadi dengan kamu dan keluarga kamu. Tante hanya ingin membantu," ucap Yanti berusahan menjelaskan. Akan tetapi, Wulan tak mendengarkannya dan pergi begitu saja.

Nak, Tante hanya ingin kamu tak lagi merasa sendirian di dunia ini. Tante peduli sama kamu, Wulan ....

•••

Wulan kembali kemari. Di sungai yang sudah tiga tahun ini menjadi temannya. Teman satu-satunya. Yang bersedia mendengarkan segala keluh kesahnya tanpa merasa bosan dan mengerti dirinya.

Wulan mengambil beberapa keriki yang ada di dekatnya dan melemparkannya ke dalam sungai. "Mereka kasihan padaku. Apa aku semenyedihkan itu? Aku tak ingin dikasihani!" ucap Wulan menggebu-gebu. Dia tak ingin kasih sayang dan perhatian dari orang lain. Dia hanya ingin mendapatkan kasih sayang itu dari keluarganya sendiri. Jika dia mendapatkannya dari orang lain, itu akan semakin membuat dirinya tertampar dengan kenyataan bahwa dia tak dipedulika oleh keluarganya sendiri.

Dia berjalan mendekat ke sungai dan berjongkok. Dia melihat bayangan wajahnya sendiri di air sungai yang mengalir dengan tenang itu. Kau menyedihkan, Wulan.

Saat dia berdiri, dia kehilangan keseimbangan dan tercebur ke dalam sungai. Tangannya menggapai-gapai udara yang sudah tentu tak ada gunanya. Dia tak bisa berenang. Dia pasrah dan membiarkan dirinya semakin tenggelam ke dasar sungai.

Mungkin ini yang terbaik untuk semua orang. Keluargaku tak akan terbebani lagi oleh diriku. Keluarga Tante Yanti juga tak perlu lagi untuk mengasihaniku. Dan aku tak perlu lagi merasakan rasa sakit ini. Ya, ini yang terbaik.

•••

"Hiks ... maafkan Tante, Wulan. Seharusnya Tante memberitahumu dari awal tentang segalanya. Ma—af ... hiks ... maafkan Tante ...." ucap Yanti terisak di depan makam Wulan yang masih basah di tengah hujan yang mengguyur.



Selesai












Hmm ... entah kenapa kebanyakan apa yang aku tulis itu kok suasananya sedih, ya? Hehehe ....

Oke, terima kasih sudah membaca cerpen ini. Ide dan judul bukan dariku. Aku hanya mengembangkannya sesuai dengan bayanganku saja. Terima kasih Kakak Zhie atas ide dan judulnya. Maaf jika tak sesuai dengan ekspeksasi Kak Zhie ....

Bila ada kesalahan, apapun itu, saya mohon maaf.

Tetap semangat!
Semangat!
Semangat, ya!
😄😄😄
🌹🌹🌹


♪\(*^▽^*)/\(*^▽^*)/

Komentar

Postingan Populer