Harapan

Semilir angin menerbangkan rambut hitam panjangnya. Membuatnya menari mengikuti arah angin yang menerpanya. Tapi, gadis itu tidak peduli dengan rambutnya yang menari. Dia menatap kosong ke depan. Ke arah langit sore yang bewarna orange pertanda matahari akan segera terbenam. Gadis itu tetap berdiri di sana. Di atap sekolah, seorang diri. Keputusannya sudah bulat. Dia sudah lelah. Pikirannya kacau. Dia tidak bisa berpikir jernih lagi. Dia sudah menutup logikanya.
Satu langkah, dia mendekat ke tepi atap. Pikirannya tetap kosong. Satu langkah lebih dekat lagi, tapi dia tidak takut. Pandangannya tetap kosong ke depan. Langkah demi langkah dia lalui dengan pikiran yang kosong hingga dia berada di tepi atap. Dia menengadah ke langit, membayangkan kenangan-kenangan indah bersama ayahnya. Tak terasa, air matapun jatuh membasahi pipinya.
' Ayah, terimakasih,' ucap seorang gadis berusia sepuluh tahun.
' Untuk apa?' tanya sang Ayah.
' Karena sudah menyayangiku,' ucap sang gadis itu lagi.
' Kamu kan putri Ayah, sudah seharusnya Ayah menyayangimu,' jawab sang Ayah sambil mengelus rambut putrinya dengan tersenyum.
' Ayah tidak akan meninggalkanku seperti Ibu kan?' tanya sang gadis.
' Tentu saja tidak. Ayah akan selalu bersamamu,' jawab sang Ayah.
' Janji?'  tanya sang gadis sambil menyodorkan jari kelingkingnya.
' Janji,' jawab sang Ayah sambil menautkan jari kelingkingnya dengan putrinya.
"Ayah, kenapa ayah melanggar janji Ayah? Bukankah melanggar janji itu tidak boleh? Kenapa Ayah meninggalkanku? Aku sendirian Ayah," ucap sang gadis sambil terisak.
"Tapi tidak apa-apa, aku akan menyusulmu Ayah. Kita akan bersama lagi. Kita akan bermain bersama lagi. Tunggu aku Ayah," ucap sang gadis lagi sambil tersenyum.
Kemudian, gadis itu melangkah ke depan.
Aku datang Ayah
Grep
Apa yang terjadi? Kenapa aku tidak jatuh?
Lalu sang gadis mendongak ke atas. Dia terkejut. Ternyata, tangannya dipegang oleh seseorang.
"Apa yang kau lakukan? Kau sudah gila ya?" ucap orang itu sambil menarik sang gadis.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya orang itu dengan nada yang leboh tenang saat sang gadis sudah berada di atas.
Gadis itu tetap diam sambil menundukkan kepalanya. Karena lama tidak mendapatkan jawaban, orang itu menjadi kesal sendiri.
"Terserahlah, jika kau mau melanjutkan aksi bunuh dirimu, silakan. Aku pergi dulu," ucap orang itu dengan nada yang dingin dan menusuk.
Lalu, orang itu berbalik dan melangkah pergi.
"Tunggu!" ucap sang gadis.
Orang itu menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap sang gadis.
"Apa?" ucapnya dengan nada yang datar.
"Kenapa kau tidak membiarkanku jatuh? Kenapa kau memegang tanganku? Kenapa kau menyelamatkanku?" tanya sang gadis dengan terbata dan tetap menundukkan kepalanya.
"Entahlah. Mungkin aku tidak mau dibuat repot dengan menjadi saksi atas aksi bunuh diri." jawab orang itu acuh tak acuh.
"Sudah? Kalau sudah, aku mau pulang dulu. Aku sudah terlambat. Ibuku bisa marah jika aku yerlambat pulang," ucapnya.
Saat dia membalikkan badan, dia mendengar suara isakan. Lalu diapun berbalik. Dia terkejut. Gadis itu menangis.
"Hei! Kenapa kau menangis?" tanya orang itu dengan panik.
"Hiks....kau pasti sangat beruntung ya...., kau punya Ibu yang menunggumu di rumah...hiks....kau punya keluarga yang menyayangimu...." ucap sang gadis sambil terisak.
"Apa yang kau katakan?" tanya orang itu bingung.
Namun, gadis itu tetap terisak. Tidak menjawab pertanyaan orang itu. Akhirnya, orang itupun mendekat kepada sang gadis.
"Hei, berhentilah menangis. Aku tidak tahu bagaimana cara menenangkan orang yang menangis." ucap orang itu dengan nada yang sedikit melembut.
"Apa kau kesepian? Apa kau tidak punya keluarga?" tanya orang itu.
Gadis itu mengangguk.
"Iya. Aku kesepian. Aku sudah tidak punya keluarga. Aku juga tidak punya teman. Aku sendirian. Aku bebar-benar sendirian. Aku tidak punya siapapun di dunia ini. Aku hanya mempunyai diriku sendiri. Diriku sendiri," ucap sang gadis sambil menahan isakannya.
"Kalau begitu, biar aku jadi temanmu. Kau jadi tidak kesepian lagi. Mau?" ucap orang itu dengan nada yang lembut.
Gadis itu terkejut. Apa benar yang dikatakan orang ini? Dia tidak salah dengar kan?
"Apa? Kau mau jadi temanku? Kau serius?" ucap sang gadis dengan nada tidak percaya.
"Iya, aku mau jadi temanmu," jawab orang itu.
Aku tidak tahu dia benar-benar tulus ingin berteman denganku, kasihan denganku atau hanya ingin menghentikan tangisanku. Tapi, aku sangat bahagia. Dia, orang yang baru aku tahu beberapa menit yang lalu memberikan harapan yang baru kepadaku.
"Terimakasih banyak," ucap sang gadis yang tersenyum dengan manis.
Orang itupun membalasnya dengan senyuman juga.
"Jadi, kita sekarang berteman? Siapa namamu? Namaku Ukagira Savcriga, kau bisa memanggilku Riga," ucap orang itu.
"Namaku Hyakara Hyrada. Kau bisa memanggilku Hyra," ucapnya dengan tersenyum.
Lalu, merekapun berjabat tangan sebagai tanda perkenalan dan pertemanan mereka.
Aku menaruh harapanku kepadamu Riga. Aku harap, harapanku tidak akan putus. Aku berharap kita akan selalu bersama. Aku berharap hidupku akan menjadi lebih berwarna. Aku berharap kau bisa membantuku membangun hidupku lagi. Aku sangat berharap padamu, Riga.
.
.
.
Bolehkah aku berharap?
Bolehkan aku berharap sekali lagi?
Bolehkah aku mempercayainya?
Bolehkah aku membangun kepercayaanku padanya?
Bolehkah aku bermimpi sekali lagi?
Bolehkah aku berharap ini akan berakhir menyenangkan?
Bolehkah aku bergantung padanya?
Bolehkah aku membutuhkannya?
Bolehkah aku berharap banyak padanya?
Bolehkah aku bangkit?
Bolehkah aku mendapatkan kebahagiaanku?
Bolehkah aku egois kali ini?
Bolehkah aku berpikir semua akan baik-baik saja setelah ini?
Aku tak tahu,
Aku tak tahu ini harapan yang semu atau tidak
Aku tak tahu ini akan menyakitiku atau tidak
Aku tak tahu aku pantas mempercayainya atau tidak
Untuk kali ini,
Bolehkah aku menganggapnya ini bukan harapan yang semu?
Untuk kali ini,
Bolehkah aku memberikan kepercayaanku padanya?
Untuk kali ini, biarlah aku menganggapnya begini
Aku sudah tidak tahu lagi
Aku sudah putus asa
Hanya dia harapanku
Untuk saat ini,
Biarlah aku berharap padanya
Biarlah aku percaya padanya
Aku berharap padamu

Komentar

  1. Lanjutkan cerita ini sampe mereka jadi sepasang kekasih, itu aja si saran dr gue

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mereka nggak bakalan jadi sepasang kekasih...tunggu aja lanjutannya....😉

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer