Karam

Membeludak. Senyuman tak lagi sama. Langit semerah darah menjadi pengantar sebuah nyawa. Padahal beberapa menit sebelumnya biru teduh menjadi menyejuk. Kemana mereka pergi? Ah, bukan itu pertanyaannya. Kenapa mereka pergi?

Luka tertoreh oleh sebuah kesalahan. Kesalahan pun ada karena sebuah luka yang lalu. Terlalu takut, terbayang rasa sakit yang tak pernah bisa terlupakan mengakibatkan ragu untuk menetapkan sebuah langkah. Terlalu ragu hingga tak sadar melukai diri sendiri.

Kata menjadi mutlak saat itu. Tak ada bantahan dan tolakan. Terima walaupun sangat memberatkan. Memang, apakah punya pilihan? Tidak ada pilihan. Sebut saja seorang pengecut karena tak berani memberontak. Memang memberontak bisa membuat keadaan menjadi lebih baik?

Ah, lupa pada bahasan awal. Langit merah tak kunjung menggelap. Sang hitam pun nampaknya sungkan dengan si merah. Sungkan karena takut, atau sungkan karena hormat?

Pantulan warna merah terlihat di deburan ombak yang menggila. Tinggi sampai bisa menenggelamkan kapal berbadan besar. Membaliknya hingga karam ke dasar lautan. Mengerikan!

Kenapa ada ombak sedangkan si merah yang menguasai? Hitam kalah dengan si merah?

Tak ada jawaban yang pasti. Hey, semua ada kemungkinannya, baik itu kecil atau besar. Jadi, pantaskan kita memberi kepastian yang mana kita sendiri bukan Tuhan? Hah, bercandamu sungguh membuat perutku sakit karena tertawa terpingkal-pingkal. Hey, jangan memberi kepastian!

Semakin lama tulisan ini semakin tak terkendali. Apa yang kumaksudkan jadi tak jelas karena terlalu banyak membahas yang tak perlu. Oh, itu semua tak penting? Hmm ... aku rasa ada sebagian orang yang akan beranggapan itu penting. Sebagiannya lagi? Tak peduli.

Ah, kembali lagi ke judul awal, karam. Karam? Sudahlah, akhiri saja. Bila sudah karang mau diapakan lagi? Setelah tenggelam ke dasar lautan, akan menjadi bangkai. Diangkat ke daratan pun sudah berkarat, lapuk, karena mendapat tekanan dari dinginnya air laut. Jadi, mau apa?

Burung camar terbang berputar di atas kepala. Bergerombol di sore sedangkan langit berwarna jingga. Ah, kita sampai lupa pada si merah. Nampaknya dia sudah puas dengan karamnya kapal hingga melepaskan kuasanya untuk mencengkeram langit petang. Membiarkan sang malam, sebut saja hitam atau gelap, mengambil alih pekerjaannya.

Taukah? Sebenarnya malam tak semengerikan itu. Ada bintang bertaburan yang berkelap-kelip seperti lampu juga jangan lupakan sang rembulan. Tak buruk, bukan?

Jadi, masih pantaskan senyum itu luntur? Masih pantaskah nyawa menjadi sebuah kesia-siaan?

Jawaban ada pada hati nurani.


Kediri, 17 Mei 2020





>_<

Aku nggak tau nulis apa. Untuk kalian yang bisa mengerti atau bisa menyimpulkan apa yang kutulis, aku mengakui kalian hebat!


Terima kasih sudah membaca ^_^

Komentar

  1. Aku tidak tahu penafsiranku betul atau salah, kamu jangan sampai menyerah ya, berusaha saja untuk yakin rencana Tuhan selalu Indah.

    Semangat kawanku sayang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, seperti itukah? Aku yang nulis aja nggak paham. Hehehehe ....

      Iya, aku akan berusaha! Terima kasih, Kawan! 💙
      Terima kasih, Sayang! 💙

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer