Daya Tarikmu

Cerita ini terinspirasi dari lagu Labirin - Tulus


Kembali kulanglahkan kaki menuju perpustakaan sekolah. Bukan untuk membaca tentunya, tapi hanya untuk melihat bagaimana seseorang yang berhasil menarik perhatianku membaca dengan tenang.

Kembali duduk di hadapannya sambil menatapnya. Aku tak malu memperhatikannya dengan terang-terangan. Tak ada buku di hadapanku. Aku benar-benar ke perpustakaan hanya untuk melihatnya.

Kurasa dia sudah biasa dengan apa yang kulakukan ini. Karena sudah seminggu hal ini terjadi. Saat hari pertama dia bertanya kenapa aku menatapnya, aku menjawab ingin saja karena aku tertarik dengannya. Dia hanya mengangguk dan melanjutkan membaca buku. Bukankah dia sangat menarik?

Bel masuk terdengar dan tak lama kemudian dia menutup buku dan mengembalikannya di rak novel. Ternyata dia sedang membaca novel tadi. Dia berbalik menghadapku yang masih melihat gerak-geriknya.

"Udah masuk. Cepetan ke kelas sana!"

Perhatian, peduli. Itu yang aku tangkap dari ucapannya. Aku hanya mengangguk dan berjalan menyusulnya yang sudah berjalan lebih dahulu. Kusejajarkan langkahku dengan langkah kecilnya. Tingginya tak lebih dari bahuku. Dia sangat menggemaskan.

"Pulang sekolah langsung pulang?"

"Iya"

"Di rumah langsung mandi?"

"Iya"

"Abis itu?"

"Nonton TV"

"Oh, habis magrib ngapain?"

"Nyiapin buku buat besok."

"Nggak belajar?"

"Kalau nggak ulangan ya nggak belajar."

Pertanyaan random yang selalu aku tanyakan saat kami kembali ke kelas. Kelas kami terpisah agak jauh. Saat sampai di persimpangan koridor, aku berjalan ke kiri dan dia ke kanan. Setelah itu, kami tidak akan bertemu lagi sampai pulang sekolah.

Jam istirahat kedua biasanya dia tidak keluar kelas. Begitu juga jam istirahat ketiga. Dia hanya akan keluar di jam istirahat pertama. Itu pun ke perpustakaan. Dia memang orang yang tertutup. Mungkin introvert? Menurutku dia orang yang pendiam.

Sepulang sekolah biasanya aku melihat dia menunggu jemputan di halte depan sekolah. Jemputannya akan tiba tepat lima belas menit sejak bel pulang berbunyi. Sampai sejauh itu aku memperhatikannya. Dia berhasil menarik perhatianku.

Besoknya akan kulalui seperti biasa. Menatapnya membaca buku di perpustakaan, menanyakan hal random saat kembali ke kelas, lalu memerhatikannya menunggu jemputan. Untuk yang terakhir itu, aku memperhatikan dari jauh.

Kadang aku berpikir, tidakkah dia terganggu dengan kehadiranku. Pasalnya aku terang-terangan menunjukkan bahwa aku tertarik padanya. Namun, sejauh ini dia tidak melayangkan protesnya kepadaku. Mungkin dia tidak peduli? Siapa yang tahu tentang itu. Dia sangat pendiam. Bila tidak ditanya, dia tak akan berbicara. Tipikal orang yang tidak suka buang-buang tenaga dan basa-basi.

Dua minggu penuh telah lewat sejak aku memperhatikannya. Bisa dibilang usahaku untuk dekat dengannya. Dan hari ini aku memberanikan diri bertanya apakah boleh aku bermain ke rumahnya saat akhir pekan. Dan ternyata jawabannya boleh, tapi tetap dengan sikap kalemnya. Dia seperti tidak keberatan.

"Aku belum tau di mana rumahmu," tanyaku sungguh-sungguh. Karena memang, aku tak tahu di mana rumahnya.

"Kamu kelas IPA-C, kan? Surya tahu di mana rumahku. Tanya aja sama dia."

Setelah mengatakan itu, dia langsung meninggalkanku yang masih diam di koridor. Dia tadi bilang Surya? Dia kenal Surya? Ternyata dia penuh misteri dan kejutan. Pasalnya, Surya bisa dibilang anak yang bandel. Bolak-balik ruang BK sudah menjadi rutinitasnya.

Akhir pekan seperti yang sudah direncanakan aku akan pergi ke rumah Dinda. Iya, namanya Adinda Maharani. Berbekal informasi dari Surya, sekarang aku sudah berdiri di depan gerbang tinggi rumahnya. Ternyata dia adalah orang yang berada. Bisa kukatakan kalangan menengah ke atas.

Tak tahu bagaimana cara agar dia tahu aku sudah sampai. Ingin mengirim pesan, tapi aku tak punya nomornya. Iya, waktu dua minggu itu aku belum meminta nomor teleponnya.

Aku terlihat linglung di depan rumah orang. Aku coba teriak memanggil namanya. Agak kurang sopan memang. Tapi sepertinya suaraku tak sampai ke dalam rumah. Dia tak menunjukkan tanda-tanda akan keluar.

Sepuluh menit kemudian, mobil hitam datang. Nampaknya salah satu dari keluarga Dinda. Seorang pria kira-kira berumur 45 tahun keluar dari dalam mobil lalu menghampiriku yang masih memperhatikannya.

"Cari siapa, Dek?"

"Cari Dinda, Om."

Setelah bertanya ini-itu, beliau mempersilahkanku masuk ke rumah. Aku duduk di sofa coklat yang nyaman sedangkan beliau yang ternyata ayah Dinda duduk di hadapanku.

"Baru dua kali ini Dinda bawa temennya ke rumah. Itu pun laki-laki semua. Kamu deket banget sama Dinda, ya?"

Pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan padaku. Aku yang sedang minum pun tak bisa menghindari acara tersedak yang sangat memalukan. Tapi, ayah Dinda bilang tadi baru dua kali teman Dinda yang main ke rumah, laki-laki lagi. Surya kah?

"Oh, saya hanya temannya saja. Tidak terlalu dekat. Mungkin."

Pembicaraan mengalir sampai ke aktivitas sekolah, alamat rumahku, hobi, makanan kesukaan, minuman kesukaan, juga tak lupa bagaimana aku bisa mengenal Dinda. Pembicaraan mengalir dengan sendirinya dan jujur, ini membuatku nyaman. Aku jadi tidak canggung lagi di hadapan ayah Dinda. Sampai-sampai aku berani bertanya bagaimana sikap Dinda di rumah.

Cukup lama kami berbincang, kemudian Dinda datang sambil membawa nampan berisi beberapa makanan ringan. Setelah meletakkan nampan itu ke meja, dia duduk di sofa single di sebelah kanan. Karena Dinda sudah datang, ayahnya pun pamit untuk ke dalam. Ingin memberikan ruang untuk anak muda bermain katanya.

Seperginya ayah Dinda, aku mulai mengajaknya bicara. Mulai dari bertanya apa saja kesukaannya, aktivitasnya di akhir pekan, pokoknya hal-hal yang remeh temeh. Dari pada nanti diam, hening. Sudah kukatakan bukan bahwa Dinda adalah orang yang tidak akan bicara kalau tidak diajak bicara.

Dinda menjawab semua pertanyaan itu dengan ekspresi yang sama. Itu salah satu yang membuatku tertarik padanya. Tak ada binar atau pun letupan di mata saat membicarakan kesukaannya. Semua di jawab tanpa adanya perubahan ekspresi yang signifikan.

Setelah menanyakan hal-hal remeh temeh tersebut selama kurang lebih satu jam, aku mulai kehabisan ide. Pertanyaan apa lagi yang harus aku tanyakan.

"Mau main PlayStation?" tanya Dinda. "Sebenarnya itu punya kakakku, tapi aku bisa main kok," lanjutnya saat melihat raut terkejutku.

Aku setujui ajakannya. Lalu dia mengajakku untuk ke luar keluarga. Di sana ruangannya lebih luas dari pada ruang tamu. Kami bermain cukup lama. Selama permainan, Dinda banyak memenangkan permainan. Ternyata dia hebat juga.

Saat tengah hari, aku pulang karena aku izin ke ibuku bermain ke rumah Dinda hanya sampai tengah hari saja.

Keesokan harinya semua berjalan dengan normal. Hari senin yang harus upacara, pelajaran pertama yang sudah memeras otak, tak lupa memandangi si dia yang tengah membaca buku. Kali ini bukan novel yang ia baca, tapi buku tentang misteri dunia.

Tapi kali ini ada yang beda. Untuk pertama kalinya Dinda bertanya kepadaku. Sungguh ajaib!

"Kamu nggak bosen ngeliatin aku baca terus? Ini udah dua minggu."

"Enggak."

Setelah itu tak ada percakapan lagi antara aku dan dia sampai bunyi bel masuk terdengar. Dia segera berdiri dan mengembalikan buku ke rak sedangkan aku menunggunya selesai.

Seperti biasa, kami berjalan beriringan. Di koridor, tak jarang teman-temanku menggoda kami karena berjalan berdua. Aku sudah menganggap biasa hal seperti itu. Teman-temanku memang tahu jika aku tertarik dengan Dinda, si anak kelas IPA-G.

Saat di persimpangan koridor yang biasanya kami terpisah, aku berhenti yang menyebabkan dia juga berhenti. Dia menoleh ke arahku dengan ekspresi penasaran.

"Dinda, kamu tau kan kalau aku tertarik sama kamu. Aku bakal berusaha buat kamu balik tertarik dan nyaman sama aku. Aku yakin kita bakalan bisa jadi satu, berjalan bersama-sama. Gimana? Nggak keberatan, kan?"

Dia terdiam sebentar lalu tersenyum. Itu adalah senyum pertama yang aku lihat darinya. Senyumnya benar-benar manis, membuatku tertegun seketika. Tak lama, terdengar jawaban yang membuatku semakin bersemangat untuk mendapatkannya.

"Coba aja."








Selesai


(っ´▽`)っ

Labirin - Tulus

Kucari tahu tentangmu
Tanggal dan tahun lahirmu
Kupelajari rasi bintang menebak pribadimu

Tokoh kartun favoritmu
Dan warna kegemaranmu
Kutelusuri di titik mana kita 'kan bertemu

(bius aku)
Bius aku dengan tatapanmu, tatapanmu
(misterimu)
Menyiksaku tapi sungguh candu, sungguh candu

Lika-liku labirinmu
Takkan urungkan niatku
Betapa kuyakin kita berdua bisa menyatu

(labirinmu)
Jebak aku dalam labirinmu, labirinmu
(tersesatku)
Tersesatku di adiwarnamu, pesonamu

(labirinmu)
Jebak aku dalam labirinmu, labirinmu, labirinmu
(tersesatku)
Tersesatku di adiwarnamu, pesonamu

Kucari tahu tentangmu
Tanggal dan tahun lahirmu
Kupelajari rasi bintang menebak pribadimu

(bius aku)
Bius aku dengan tatapanmu, tatapanmu
(misterimu)
Menyiksaku tapi sungguh candu, sungguh candu, sungguh candu

(labirinmu)
Jebak aku dalam labirinmu, labirinmu, labirinmu
(tersesatku)
Tersesatku di adiwarnamu, pesonamu

Lika-liku labirinmu
Takkan urungkan niatku
Betapa kuyakin kita berdua bisa menyatu


>_<

Kenapa aku merasa cerita ini nggak nyambung sama lagunya, ya?

Tapi ... aku puas kok. Senyum-senyum sendiri waktu ngetik ini. Gemes banget sama mereka berdua.

Aku teriak lho waktu ngetik "coba aja" di endingnya. Aku yang ngetik, aku yang baper 😳

Alurnya kecepetan, nggak? Atau ada yang janggal? Endingnya terlalu maksa nggak?


O(≧▽≦)O
Terima kasih sudah membaca,
Salam dariku,
(。’▽’。)♡

Komentar

  1. HAVY... 😳😆😆😆 Meletup-letup dadaku..😅😂 Super bagus 👍 sering-sering bikin yang begini..😁😄 amazing.. sudah, nggak tau mau berkata apalagi, ini kerennn

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah ... aku juga senyam-senyum sendiri waktu ngetik ini. Berasa jadi si tokoh Aku. Dindanya misteri banget! Hehehe ... makasih ya udah mau baca 😁

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer