Botol Kaca

Kulangkahkan kaki menyusuri pinggiran pantai. Angin yang berembus menerpa diriku. Anginnya cukup kencang, menerbangkan rambut hitam panjangku dan terkadang membuatku mengeluarkan tenaga ekstra untuk berjalan. Tak apa, aku masih bisa menikmatinya.

Setelah puas dengan acara jalan-jalanku, aku berhenti senejak. Kuhadapkan diriku ke laut lepas. Memandangi birunya air laut sambil berangan-angan. Sebenarnya aku adalah seorang pengkhayal yang terkadang membayangkan sesuatu yang tak masuk akal. Biarlah, yang penting diriku senang melakukannya.

Tak lama diriku menyelami indahnya sebuah angan, aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh kakiku. Langsung saja kutundukkan kepala guna melihat apa yang mengenaik kakiku dan ternyata itu adalah sebuah botol kaca yang sudah terlihat tua. Di dalamnya seperti ada selembar kertas berwarna cokelat. Dan ada koral yang menempel di sekitarnya.

Setelah mengambilnya, aku langsung berlari dari sana. Entah untuk apa aku lari, tapi hatiku mengatakan untuk segera berlari dari sana. Aku berlari menuju mobilku yang terparkir cukup jauh dari bibir pantai. Segera setelah aku ada di dalam mobil, botol kaca itu kubungkus dengan kain. Kali ini pun aku tidak tahu kenapa melakukannya. Setelah selesai, aku langsung menjalankan mobil menuju rumah.

Dalam perjalanan pulang, entah kenapa hatiku selalu gelisah. Jantungku juga berdetak sangat kencang. Aku seperti ketakutan, tapi aku tak tahu kenapa aku seperti ini. Dua puluh menit kulalui dengan keadaan was-was dan itu sangat menegangkan. Bahkan, aku sampai berkeringat dingin.

Setelah menempuh perjalanan yang menegangkan, akhirnya aku sampai di rumah. Di sini aku tinggal sendiri karena aku sejak dulu memang seorang diri. Ah, tidak, aku dari lahir memang sudah tidak punya orang tua sehingga aku hidup di panti asuhan, tapi itu tidak berlangsung lama. Saat umurku menginjak 13 tahun, ada sebuah keluarga mengadopsiku. Di keluarga itu aku hidup dengan bahagia. Aku punya ayah, ibu, kakak, bahkan juga adik. Mereka selalu menyayangiku. Akan tetapi, setelah beranjak dewasa, aku ingin hidup sendiri. Untungnya keluargaku mendukung. Sampai saat ini pun aku masih berhubungan dengan mereka. Setiap akhir pekan aku akan pulang ke rumah, menghabiskan waktuku dengan mereka.

Saat membuka pintu, aku heran kenapa lampu di ruang tamu menyala. Padahal, aku pasti selalu mematikan lampu jika meninggalkan rumah. Dengan was-was aku melangkah masuk, tak lupa dengan botol kaca yang sudah kubungkus dengan kain yang berada di genggamanku.

Saat masuk lebih dalam ke rumah, aku melihat keadaan rumahku sangat berantakan. Seingatku tadi saat meninggalkan rumah, keadaannya masih rapi. Siapa yang ada di rumah? Bahkan semua lampu menyala!

Dengan jantung yang berdetak dengan kencang, aku memberanikan diri untuk menuju kamar. Kudengar ada suara dari dalam kamarku. Saat ini pertahananku hanya botok kaca yang kubawa. Aku tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Dengan segera kulepaskan kain yang membungkus botol itu. Dengan perlahan pintu kamar kubuka dan seperti semua ruangan di rumah, lampu kamar juga hidup.

Saat pintu kamar kubuka lebih lebar, aku mendapati kakakku yang dengan duduk di tepi tempat tidur. Dia lantas tersenyum cerah saat melihatku.

"Aaaaa ... Adek! Akhirnya adek pulang! Kakak udah nungguin dari tadi lho ....," ucap kakakku sambil berjalan menghampiriku.

"Ya ampun, Kakak! Aku kira siapa tadi. Aku udah jantungan dari tadi tau!" ucapku setengah kesal juga lega karena yang ada di rumah adalah kakakku.

"Hehehe ... sekali-sekali bikin kejutan kan nggak papa. Ayah, ibu, sama Nanda nanti juga bakal datang kok, tapi nanti malam datangnya. Oh, kalau Nanda tadi udah ada di sini sih, tapi keluar lagi. Katanya ada urusan di kampusnya."

Aku yang mendengar penjelasan kakakku itu heran sendiri. Untuk apa keluargaku nanti malam berkumpul di sini. Bukannya besok pasti aku akan pulang ke rumah?

"Kenapa pada ngumpul di sini?"

"Adek gimana sih? Harunya seneng dong. Kita waktu buat ketemunya bisa lebih lama dari biasanya. Kalau adek yang datang ke rumah, pasti adek datengnya agak siang. Itu pun besok."

Ah, kenapa kakakku seperti sedang merajuk?

"Iya, Kak. Adek seneng kok. Sekarang bantuin adek, ya? Beres-beres."

"Oke!"

Saat malam tiba, tepatnya pukul tujuh, semua orang sudah berkumpul di rumahku. Kami melakukan hal yang biasanya di lakukan saat berkumpul di rumah orang tuaku. Pertama, kami akan makan malam bersama, lalu berbagi cerita di ruang tengah, setelah itu nonton film. Setelah nonton film, seperti biasa orang tuaku akan pamit duluan untuk tidur—sudah mengantuk katanya. Sedangkan Nanda akan mengurung diri di kamar dan menenggelamkan dirinya bersama koleksi komiknya. Dan sekarang yang masih tersisa di ruang tengah adalah aku dan kakakku. Kami biasanya akan jalan-jalan malam, lebih tepatnya night driving sambil membahas hal-hal yang random.

Saat ini, yang memegang kemudi adalah kakakku. Sudah lama tidak mengemudi katanya karena setiap kali dia keluar rumah, pasti akan diantar oleh supir. Padahal dia sendiri yang meminta agar diantar supir, tapi dia sendiri juga yang mengeluh bosan. Memang ada-ada saja kakakku ini.

Saat aku akan mengambil ponsel di dalam tas jinjingku, ternyata botol kaca itu juga ada di sana. Mungkin aku tak sengaja memasukkannya ke dalam tasku. Walaupun sedikit was-was dengan botol kaca itu, tapi aku berusaha untuk tidak menghiraukannya.

Aku mengambil gambar jalanan malam dengan ponsel. Aku juga mengambil gambar kakakku yang sedang mengemudi. Setelah merasa cukup, aku sudahi acara mengambil gambar itu lalu memfokuskan diri untuk me dengar lelucon yang dilontarkan kakakku.

"Adek, Kakak mau buat jahat nih," ucap kakakku sambil terkekeh pelan.

Aku bingung. Maksudnya berbuat jahat itu apa?

"Kakak mau ngapain?"

Bukannya menjawab, kakakku malah tersenyum lalu memarkirkan mobil di sebuah parkiran taman. Taman ini adalah taman yang biasanya kita kunjungi pada saat hari Minggu kala kita berdua masih kecil.

"Turun, Dek."

Aku pun menuruti ucapannya walaupun agak terasa aneh saat ini. Apa yang akan kakakku lakukan?

Kakakku lantas mengajakku untuk duduk di salah satu bangku taman yang menghadap ke arah danau. Ah, di taman ini ada danau buatan atau lebih tepatnya sebuah kolam yang ada berada tepat di tengah-tengahnya.

Lama sama-sama terdiam, tiba-tiba aku merasakan ada benda dingin yang nyentuh pipiku. Aku tidak berani menolehkan kepalaku. Jantungku berdetak dengan kencang. Apa sebenarnya yang kakakku lakukan?

"Main yuk, Dek. Kakak udah bawa pisaunya nih."

Gila! Aku tidak dapat memproses apa yang terjadi saat ini.

"Kakak mau ngapain? Pisaunya jauhin dari adek, Kak ...."

"Nggak mau. Ayo main!"

Kakakku seperti kerasukan sesuatu. Suaranya sangat mengerikan. Bagaimana dia bisa terus tertawa saat dia menodongkan pisau kepada adiknya sendiri?

Dengan keberanian yang tidak seberapa, aku dengan cepat memegang tangan kakak yang sedang menggenggam pisau lalu kupelintir. Dia menjerit kesakitan. Sebenarnya aku tidak tega, tapi mau bagaimana lagi? Aku juga tidak ingin nyawaku melayang.

Melihat kakakku yang masih ingin melawan, aku segera merampas pisau itu dan melemparnya menjauh. Tak sampai di situ, aku juga mengunci gerakannya. Saat kurasa kakakku tak akan bisa melawan, aku dengan segera menelepon orang tuaku.

"Halo, Ibu!"

"Ya ampun, Adek. Ini udah jam setengah satu pagi lho. Pulang sekarang, Dek."

"Ibu, Ibu kesini, ya! Ke taman yang ada kolamnya. Cepetan, Bu! Adek takut ini!"

"Astaga, kamu kenapa? Iya, ini ibu sama ayah ke sana. Tunggu sebentar."

Setelah menutup telepon dari ibu, aku melihat keadaan kakakku yang sepertinya lemas. Karena tidak tega, aku melonggarkan kuncianku. Akan tetapi, hal itu memberi kesempatan pada kakakku untuk melepaskan diri. Dia lalu menampar pipiku dengan sangat keras hingga merobek ujung bibirku. Rasanya sangat sakit.

"Kakak kenapa sih?!" teriakku pada kakak. Aku seperti tidak mengenalinya lagi.

Bukannya menjawab, kakakku malah mengeluarkan pisau lipat dari kantung jaketnya. Astaga, apa lagi sekarang?

Dia berusaha untuk melukaiku dengan pisau itu. Tak bisa dipungkiri bahwa gerakan kakakku sangat cepat, sehingga aku mendapatkan beberapa luka sayatan di wajah maupun di bagian tubuh yang lain.

"Berhenti, Kak!"

Kakakku tidak berhenti. Dia malah semakin gencar untuk melukaiku. Hingga aku tak kuat lagi untuk berdiri. Aku jatuh terduduk di dekat bangku yang tadi kutempati. Seketika aku ingat dengan botol kaca itu. Diriku yang tak bisa berpikir dengan jernih langsung saja mengambil botol kaca itu dari dalam tas. Saat aku mengeluarkan botol itu dari dalam tas, pisau kakakku mengenai pergelangan tanganku. Darah mengucur dengan derasnya. Akan tetapi, aku tidak ambil pusing. Aku langsung memukul kepala kakakku dengan botol kaca itu dengan keras. Bahkan, botol itu sampai pecah. Tak hanya sekali, aku memukulnya sampai tiga kali. Setelah itu aku melihat kakak sudah jatuh lemas. Aku ketakutan. Seluruh tubuhku merasakan nyeri. Kepalaku sangat pusing.

Dengan gemetar, aku menjatuhkan botol kaca yang sudah tidak utuh itu. Aku menangis sesenggukan melihat keadaan kakakku yang mengenaskan dengan kepala yang mengeluarkan darah segar. Pandanganku kemudia teralihkan dengan kertas cokelat yang sebelumnya berada di dalam botol. Kertas itu nampaknya terjatuh saat botol itu terbelah menjadi dua.

Entah kenapa aku penasaran dengan keras yang masih menggulung itu. Dengan menahan nyeri, aku berusaha meraih kertas itu lalu membukanya. Aku menangis sejadi-jadinya. Sesak memenuhi ruang dadaku. Sungguh, ini sangat sesak.

Pada kertas itu ada sebuah tulisan yabg ditulis dengan tinta merah

Kakak nggak mau punya adek. Kakak mau adek hilang dari hidup kakak!

Di bawahnya tertera tanggal di mana aku diangkat oleh orang tua angkatku.

Kepalaku semakin pusing. Di akhir kesadaran, aku bisa mendengar suara ayah yang berteriak memanggi namaku. Setelah itu aku tidak merasakan apa-apa lagi.

*
Dua minggu sudah berlalu. Aku saat ini baik-baik saja, begitu juga dengan kakakku, dia baik-baik saja. Akan tetapi, sampai saat ini aku belum bertemu dengan kakak, lebih tepatnya aku belum ingin bertemu dengannya.

Saat ini aku berada di pantai lagi. Pantai di mana aku menemukan botol kaca itu. Ah, berbicara tentang botol itu, aku memperbaikinya kembali. Yah, walaupun tidak sama seperti semula, tapi lumayan lah penampilannya. Saat ini botol itu sedang kugenggam. Aku berniat untuk membuangnya di sini karena di tempat ini aku menemukannya.

Aku paham betul, semua ini salahku. Seandainya aku tidak mengambil botol itu, hubunganku dan kakakku akan baik-baik saja saat ini. Kami tidak akan pernah mengalami kejadian di malam itu. Sungguh mengerikan.

Setelah banyak melamun, aku akhirnya melempar botol itu ke lautan. Botol itu terseret ombak, lalu saat berada pada jarak lima meter dariku, aku melihat botol itu terbakar. Sudah kuduga, ini semua gara-gara botol itu. Semoga tidak ada lagi yang akan menemukannya.



Selesai






(╥﹏╥)

Aku sendiri yang nulis, aku sendiri juga yang deg-deg an. Tau nggak, aku paling deg-deg an waktu nulis si tokoh "Aku" ngambil botol kaca terus dibawa lari. Beneran, itu ngeri banget!

Dan lagi-lagi, ceritaku nggak jelas ≥﹏≤

Umm ... aku tidak bisa membuat adegan berdarah .... ‘︿’ maaf ya kalau aneh ....

Selebihnya mohon maaf bila ada sesuatu yang tidak berkenan. Terima kasih sudah membaca.

Komentar

  1. Selalu suka dengan diksinya ❤

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hayoo ... ini siapa? Kak Mucha ya? Makasih 😭😭💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer