Jangan Berharap

Harapan. Sesuatu yang bisa membuat kita terbang. Harapan ibarat sepasang sayap untuk kita. Sayap yang bisa membawa kita terbang tinggi. Tinggi, setinggi-tingginya. Rasanya pasti menyenangkan. Rasanya pasti seperti sedang menuju tempat impian. Tempat yang membuat hati berbunga-bunga setiap saat.

Akan tetapi, hati-hati! Jika sayap itu patah, kita akan jatuh ke bawah. Jatuh sejatuh-jatuhnya. Tak akan ada yang menangkap kita di bawah. Karena mereka pikir kita sudah bahagia. Bahagia bisa terbang tinggi sehingga melupakan mereka. Mereka salah! Kita tentu masih memikirkan mereka. Bukan begitu?

Jatuh. Bagaimana rasanya jatuh? Sakit, bukan? Iya, sakit. Sangat malah. Lalu, bagaimana caranya agar kita tidak terjatuh? Memperbaiki sayap yang patah itu kah? Tapi bagaimana caranya? Sedangkan kita jatuh dengan kecepatan yang sangat tinggi. Bagaimana kita memperbaiki sayap itu dalam waktu yang singkat? Mustahil, bukan?

Harapan, bila pada akhirnya kau membuatku jatuh ke bumi dengan rasa sakit yang teramat sangat, mengapa kau datang? Ah, tidak. Ini bukan salah harapan. Ini adalah salahku sendiri. Mengapa aku berharap?

Sejujurnya, aku tak tahu siapa yang salah. Saat ini, aku sedang mengkambing hitamkan yang lain. Iya, sebut saja aku terlalu jahat. Tapi memang benar, aku mengkambing hitamkan orang lain. Aku tak bisa menyalahkan diriku sendiri. Egois kah? Tak tahu diri kah? Iya. Aku memang seperti itu.

Aku mengkambing hitamkan dirinya. Aku menyalahkan dirinya akan rasa sakit yang aku rasakan. Aku bergumam,"Kalau pada akhirnya dia acuh, seharusnya dari awal dia tak merespon."

"Kalau pada akhirnya dia tak menganggap, seharusnya dari awal dia tak menanggapi."

"Aku dari awal tak mengharapkan responnya. Tapi, kenapa dia merespon?"

"Seharusnya dia jangan merespon. Pada akhirnya aku akan berharap. Dan itu membuatku jatuh. Sayapku patah ketika aku terbang tinggi. Rasanya sakit."

"Rasanya sangat sakit saat dia tahu, namun seolah tak tahu."

Aku berkata pada diriku sendiri,"Jangan berharap. Berharap itu sakit. Jangan pernah berharap lagi. Pergilah harapan! Aku tak ingin menemuimu lagi! Pergilah!"

Aku berkata sambil tersenyum masam. Aku berkata sambil tertawa. Tertawa meremehkan diriku sendiri. Menertawai diriku yang selalu saja jatuh karena harapan. Padahal sudah sering kali diri ini jatuh. Kenapa masih tetap berharap?

"Berharap itu sakit. Jangan berharap lagi. Akan lebih baik jika kau tak muncul lagi. Aku akan menerimanya dari sekarang. Tak apa. Pergilah harapan. Pergilah sekarang. Akan lebih baik jika kau pergi sekarang dan aku merasakan sakitnya jatuh saat ini. Karena sekarang aku terbang tak terlalu tinggi. Daripada kau pergi nanti. Di saat aku sedang terbang tinggi dengan sayap harapan. Itu akan lebih menyakitkan. Sangat sakit. Maka dari itu, pergilah sekarang. Pergilah!"
.
.
.
.
.
.
Terkadang, harapan kita yang tiba-tiba hancur akan membuat kita merasakan sakit. Sangat sakit. Ingin rasanya memaki. Tapi memaki siapa? Bukankah kita sendiri yang berharap? Bukankah keputusan kita sendiri untuk berharap? Jadi, ingin memaki diri sendiri?
.
.
.
.
.
.

Semangat!
Tetap semangat!
Semangat terus!
Semangat ya!
Semangat!
😄😄😄😄
🌷🌷🌷🌷


♪\(*^▽^*)/\(*^▽^*)/

Komentar

Postingan Populer