Terperangkap Memori

Ide cerita bukan orisinil dariku. Aku baca cerita ini :

https://archiveofourown.org/works/23797858

Alurnya sama, problemnya juga hampir sama atau bisa dikatakan sama. Sekali lagi, INI CERITA BUKAN ASLI DARI IDEKU. Aku cuma pengen nulis cerita dengan gaya seperti cerita di atas. Perbedaannya cuma di tokoh sama aku buat cerita versiku sendiri, tapi alurnya tetap sama seperti cerita di atas.




Terperangkap Memori


Kaca pada bingkai foto itu pecah. Faska hanya diam menatapnya dengan pandangan kosong. Linglung tak tahu apa yang sedang terjadi. Dia tidak bisa menangkap peristiwa apa yang sedang terjadi di sekitarnya.

Terdengar suara teriakan seorang perempuan menyebut namanya.

"Faska! Awas! Jangan dekat-dekat dengan pecahan kacanya!"

Faska menatap perempuan itu dengan raut wajah bingung. Muncul banyak pertanyaan di pikirannya. Akan tetapi, yang paling menjadi pertanyaan Faska adalah "siapa perempuan itu"

Sementara itu, perempuan tersebut membersihkan pecahan kaca yang berserakan. Raut wajahnya terlihat khawatir dengan tangan yang bergetar. Dia terlihat sangat ketakutan. Bila dilihat lebih teliti, matanya berkaca-kaca dan siap menumpahkan tangis kapan saja.

Faska tetap diam berdiri di sana. Mengamati sang perempuan yang merasa tidak dikenalnya membersihkan pecahan kaca. Setelah selesai membuang pecahan kaca itu, perempuan tersebut menatap Faska dengan tatapan khawatir. Kedua tangannya memegang pundak Faska dengan sedikit erat.

"Kamu gak papa? Ada yang luka?"

Faska tidak menjawab. Dia bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Alih-alih menjawab bagaimana keadaannya, Faska malah bertanya balik dengan suara yang teramat pelan.

"Kamu siapa?"

Sesaat setelah mendengar pertanyaan Faska, perempuan tersebut menatapkan dengan sendu. Dia tidak menjawab, hanya tersenyum lalu memeluk Faska.

Faska merasakan pusing yang teramat sangat. Perutnya seperti diaduk-aduk. Kesadarannya perlahan menghilang. Gelap yang hanya dia ingat.

Tersentak dengan keringat yang membanjiri tubuh, Faska bangun sambil meraup udara sebanyak-banyaknya. Dia bingung. Dia sekarang berada di atas tempat tidur. Melihat ke sekeliling, dia berasumsi sedang berada di kamar tidur. Akan tetapi, dia tidak ingat di kamar siapa dia sekarang. Semua terasa asing dan familiar secara bersamaan.

Ketukan pintu mengalihkan perhatian Faska. Suara seorang anak kecil terdengar dengan nyaring.

"Kak Faska, ayo main! Udahan dong tidurnya ... udah siang ini ...."

Faska dengan ragu berjalan ke arah pintu dan membukanya perlahan. Di sana ada seorang anak kecil setinggi perut Faska. Anak kecil tersebut ingin mengucapkan protes karena Faska lama membukakan pintu.

"Kak Faska ih! Lama banget bukainnya. Ayo main!"

Bersamaan dengan itu, tangan Faska ditarik. Faska mengikuti setiap langkah anak kecil tersebut meskipun tak tahu akan di bawa ke mana. Saat mereka berhenti, ternyata mereka berada di luar rumah, lebih tepatnya di halaman depan rumah.

"Kak, jangan diem aja. Ayo .... "

Faska tetap diam. Dia tidak bisa memproses apa yang sebenarnya terjadi. Faska berpikir bahwa saat ini dia sedang bermimpi.

"Main apa?" tanya Faska akhirnya setelah lama tak berbicara sepatah kata pun dari tadi.

"Kak Faska kan udah janji—"

Tak lagi ada suara. Faska tidak dapat lagi mendengar ucapan selanjutnya anak kecil tersebut. Hari tiba-tiba menjadi malam. Anak itu sudah tidak ada lagi di hadapan Faska.

Bingung. Hari ini sudah kedua kalinya dia mengalami hal ini. Faska tak tahu ingin ke mana. Rumah di belakangnya bukanlah rumahnya yang dia ingat. Lingkungan ini sangat asing di matanya. Faska bertanya-tanya, sedang di mana dia sekarang. Apa yang terjadi dengannya. Tak juga menemukan jawaban, tanpa sadar dia melangkah menjauh dari sana. Berjalan tak tentu arah. Menyusuri dinginnya malam tanpa jaket tebal memperburuk keadaannya, tapi Faska tetap berjalan sampai suara klakson mobil mengejutkannya. Mobil itu berhenti di sampingnya dan keluarlah seorang perempuan berambut pendek dari sana.

"Faska! Ya Tuhan, kamu gak papa? Ayo pulang."

Suaranya sangat lebut dan penuh perhatian. Saat dia menuntun Faska ke mobil, Faska bertanya dengan sangat lirih.

"Kenapa?"

Suaranya sangat lirih, tapi masih bisa didengar oleh perempuan itu. Perempuan itu tersenyum dan memberika elusan lebut di kepala Faska, tapi dia tidak menjawab pertanyaan Faska. Faska teramat bingung. Semua yang ditemuinya tidak menjawab pertanyaannya. Apakah benar semua ini hanya mimpi?

Mobil putih itu berjalan dengan kecepatan sedang. Menyusuri gelapnya jalan yang sedikit lengang. Sampai akhirnya tiba di sebuah gedung apartemen.

Faska mengikuti setiap langkah perempuan yang membawanya. Mereka sekarang berada di depan pintu apartemen. Faska memperhatikan nomor yang ada di pintu. Di sana terdapat angka 115. Melihat angka tersebut, Faska tiba-tiba merasa pusing. Hal terakhir yang dia dengar adalah teriakan perempuan itu.

Faska tersentak sekali lagi. Napasnya memburu. Dia tidak bisa bernapas dengan baik. Keringat membanjiri tubuhnya. Dengan gelisah, dia melihat ke sekeliling. Ternyata dia berada di dalam kamarnya, di atas tempat tidur dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Faska sedikit lega karena dia mengenali tempat di mana dia berada sekarang. Sambil mengatur napasnya, Faska menenangkan pikirannya yang kacau.

"Jadi cuma mimpi?"

"Tapi kayak nyata. Itu cuma mimpi?"

Pintu kamar Faska terbuka. Ada seorang wanita paruh baya yang membawa nampan makanan.

"Mama?"

"Ya ampun, Faska ... kamu buat mama khawatir. Dari tadi sore kamu gak keluar kamar. Ini mama bawain makan malam."

Mama Faska menaruh nampan makanan di atas pangkuan Faska. Dia menemani putranya makan sampai selesai sambil mengajaknya mengobrol ringan.

Saat Faska sudah selesai makan, dia bertanya kepada mamanya apa yang sebelumnya Faska lakukan karena dia sama sekali tidak ingat kenapa bisa tidur di kamarnya dari sore padahal Faska tidak terbiasa tidur di sore hari, lebih tepatnya takut akan adat yang melarang seorang tidur di sore hari.

"Ma, Faska kok bisa di kamar?"

Mamanya yang mendengar pertanyaan Faska tertawa kecil.

"Kamu gimana sih, Faska ... masa gak inget? Kamu habis mecahin foto di meja dekat tangga nangis terus langsung pergi ke kamar. Kamu gak keluar, mama pikir kamu lagi kurang sehat. Jadi, mama biarin dulu kamu istirahat."

"Lagian ya, Faska. Baru kali ini mama lihat kamu nangis cuma gara-gara mecahin foto. Kamu pernah lho mecahin vas mahalnya papa, tapi tetep ketawa-ketawa. Kamu kenapa? Ada pikiran ya?"

Faska bingung ingin menjawab apa. Dia sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Akhirnya, dia memilih untuk mengatakan bahwa dia hari ini hanya sedikit sensitif. Memang alasan yang tidak masuk akal, tapi mamanya menganggukkan kepala yang mengelus kepala Faska pelan.

Waktu seakan berputar dengan cepat. Kamar yang semula dilihat Faska menjadi taman. Dia duduk di bangku panjang putih di kala hujan ringan di hari yang terang jatuh. Basah tak dihiraukannya. Faska benar-benar bingung.

"Aku mimpi lagi?"

Faska tak kunjung pergi dari sana walaupun hujan turun semakin deras. Dia membiarkan hujan membasahi tubuhnya begitu saja.

Duduk diam di sana sampai tubuhnya menggigil. Sampai hujan sudah reda pun, dia belum beranjak dari sana. Pandangannya kosong. Pikirannya juga sama. Dia tak tahu apa yang sedang di pikirkannya. Melamun.

Tepukan di bahunya menyadarkan Faska. Dia menoleh dan mendapati seorang yang terlihat sebaya dengannya tersenyum lembut. Perempuan yang manis. Perempuan itu tersenyum lembut lalu duduk di samping Faska.

Tak seperti kejadian sebelumnya, kali ini Faska berbincang-bincang dengan perempuan yang menyebutkan namanya di awal perbincangan sebagai Ira itu.

"Ah, kamu kedinginan? Bajumu basah gitu. Pulang yuk. Aku anterin," ucap Ira sambil menarik pelan tangan kanan Faska.

Faska hanya mengikut karena dia tidak tahu ke mana arah jalan pulang. Mereka mengobrol ringan selama perjalanan. Tidak dapat dipungkiri bahwa Ira adalah orang yang menyenangkan dan bisa membuat Faska nyaman.

Saat mereka mulai memasuki area gedung apartemen, Faska merasa tidak asing dengannya. Dia berpikir bahwa pernah pergi ke tempat ini, tapi tidak ingat kapan.

Mereka terus berjalan sampai di sebuah pintu bertuliskan nomor 115. Faska tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya, tapi saat melihat angka tersebut, tubuhnya langsung menggigil. Tangannya sangat dingin, tapi tiba-tiba Ira menggenggam tangannya lembut dan itu membuat Faska sedikit lebih tenang.

Saat memasuki apartemen, Faska merasa tidak asing dengan suasananya. Akan tetapi, sekali lagi dia tidak bisa mengingat apa pun tentang tempat ini.

"Faska, kamu mandi dulu ya. Ini baju gantinya. Setelah ini kita makan terus kamu istirahat, ok?"

Faska mengangguk dan mulai berjalan ke kamar mandi.

Sore hari mereka habiskan dengan mengobrol hal-hal sederhana. Sangat nyaman berada dalam suasana seperti ini sampai Faska menyadari ada yang sedikit mengganggunya. Dia menatap wajah Ira dengan fokus dan ternyata wajah Ira sangat mirip dengannya.

"Ira, wajahmu mirip aku."

"Hah? Oh ... hahaha ... iya, kita kembaran, Faska. Kita saudara kembar."

Faska yang mendengarnya benar-benar terkejut. Dia tidak ingat jika memiliki saudara, apalagi saudara kembar.

Setelahnya, pintu terdengar terbuka. Ada seorang pria paruh baya di sana. Pria itu lantas duduk bergabung dengan Faska dan Ira.

"Gimana harinya?"

"Baik, Ayah. Faska juga baik," jawab Ira sambil tersenyum.

Faska berpikir, jika Ira memanggil pria itu dengan sebutan ayah, apakah pria itu juga ayahnya?

"Hm ... ok, Faska gimana perasaannya sekarang?"

Faska hanya terdiam sambil menatap pria yang disebut Ira sebagai ayah itu. Sang ayah hanya tersenyum dengan respon Faskan lalu bangkit dari duduknya. Sebelum pergi, dia mengusak lembut surai hitam Faska.

Kemudian hanya gelap yang bisa Faska lihat. Semua gelap, tapi Faska merasa jika dia masih sadar. Dia masih bisa merasakan detakan jantungnya, dia masih bisa merasakan embusan napasnya. Dia masih sadar.

Tak bisa ke mana-mana karena dia tidak bisa melihat apa-apa. Dia hanya diam di sana tanpa melakukan apapun kecuali bernapas dan menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.

Tiba-tiba dia merasa ditarik kuat. Pandangan tiba-tiba terang. Faska bernapas dengan tersendat-sendat. Setelah sadar, dia ternyata ada di depan rumah yang asing tadi. Rumah di mana dia bertemu dengan anak laki-laki kecil yang mengajaknya bermain. Kali ini dia sendiri, tak ada anak laki-laki itu.

Dari dalam rumah terdengar seseorang memanggil namanya. Setelah orang tersebut muncul di pintu, ternyata dia adalah anak kecil tadi.

"Ih, Kak Faska kok ninggal aku sih! ... Ya udah, ayo mainnya di rumah aja."

Anak kecil itu berlari menghampiri Faska lalu menarik tangannya untuk masuk ke rumah. Saat berada di rumah, mereka mendudukkan diri di sofa depan tv.

"Uh, Cakra lagi males main. Kita nonton kartun aja ya, Kak!"

Faska sedari tadi hanya diam. Dia mengikuti apa saja permintaan anak kecil yang menyebut dirinya sebagai Cakra itu.

Akan tetapi, Faska merasa penasaran dengan Cakra. Apa hubungannya dengan Cakra ini? Untuk itu, Faska memutuskan untuk bertanya.

"Cakra ... um ... kamu siapa?"

"Hah? Kak Faska nanya apaan sih? Hahahaha ... Kak Faska masa lupa kalau Cakra adiknya kakak ...."

Seketika itu, tubuh Faska terasa sakit. Tubuhnya seperti ditarik paksa. Faska tersentak. Dia bernapas dengan terburu-buru dengan keringat yang membanjiri tubuhnya.

Dia baru sadar ternyata sedang berada di atas tempat tidur. Kamar yang saat ini ditempatinya terasa asing. Tubuh Faska bergetar. Dia menangkap figura besar di dinding yang berisikan foto sebuah keluarga. Di antara orang di figura itu, Faska hanya bisa mengenali dirinya dan sang mama. Lainnya nampak kabur di mata Faska, tapi bisa Faska pastikan bahwa di dalam figura itu ada Mamanya, dirinya, seorang laki-laki tinggi, seorang anak laki-laki kecil, dan dua orang perempuan berambut tanggung.

Dia tidak bisa mengendalikan rasa gelisahnya. Dia berteriak memanggil mamanya.

"Mama!"

"Mama!"

"Mama!"

Tak lama, seorang perempuan masuk ke kamar Faska dengan wajah khawatir disusul dengan seorang pria paruh baya. Faska tidak bisa mengenali mereka berdua. Dia merasa pernah bertemu, tapi tidak ingat kapan.

Saat mereka mendekat, Faska menyembunyikan dirinya dengan selimut.

"Di mana mama?" ucap Faska dengan gemetar.

Si perempuan meraih tangan Faska dengan lembut. Dia menatap Faska dengan sendu.

"Mama sama adik sudah bahagia di surga, Faska."

Selesai.







[^.^]
Maaf kalau ada salahnya 😭. Bener-bener gak disengaja. Maaf yaaa ... Maaf juga kalau bingung atau gak nyaman. Maaf yaaa 😭😭😭

Maaf kalau ada salah tulis. Aku gak teliti lagi 😥

Sekali lagi, idenya bukan punyaku. Aku cuma tulis ulang ceritanya dengan versiku sendiri (alurnya tetap sama)

Terima kasih sudah membaca 😊

Komentar

Postingan Populer